Tuesday, 26 July 2016

Speak Now: Abusive Parents



Deburan ombak menghasilkan suara-suara khas ketika menghantam pemecah ombak. Mungkin juga gulungan-gulungan air itu saling bergesekan dan memaksa udara menghasilkan bunyi. Suara ombak mengapa selalu menenangkan? Aku bisa berdiri di sini selama seharian penuh mendenganr simponi alam merdu ini, melupakan kehidupan ku sejenak, mungkin aku akan terlelap disini?
Mengapa harus kembali ke rumah? Mengapa harus pulang ke rumah? Jikalau yang ada hanyalah rasa sesak di dada. Mengapa harus membiarkan mimpi-mimpi ku tenggelam didalam  rumah? Di luar sini ada kebebasan, diluar sini aku merdeka berekspresi. Setidaknya ini yang bisa kulakukan sementara waktu untuk melepaskan kepenatan pikiran, lalu bagaimana dengan yang lain? Bagaimana dengan teman-teman ku?




-

Anak-anak berada di bawah pengaruh dogma dan kekuasaan orang tua. Mimpi-mimpi kami terkubur jauh dibawah aturan dan pemikiran orang lain. Dan yang lucunya, para orang tua selalu menutup mata akan hal itu, mereka berdiri diatas anak-anak mereka atas dasar kehormatan dan menindas anak-anak mereka layaknya makhluk paling rendah.
Apalah arti keluarga seperti itu?

Aku lebih senang pergi ke pantai, menikmati suguhan bentang alamnya. Aku benci berada di sekitar rumah. Aku tidak dihargai, tidak sampai aku sendiri yang mencoba mengatakan sesuatu.

Ibu selalu memarahi ku, dia selalu menyalahkan perbuatan ku (bahkan meski itu bukan salah ku), dia dibutakan oleh egoisme semata.
Yang ku lihat diwajahnya bukanlah kasih sayang, tapi berbeda, yaitu kemarahan dan kekuasaan. Meski aku tau bahwa sebenarnya dia sangat menginginkan yang terbaik untukku, tapi caranya yang tidak bekerja baik dengan ku.

Ibu tidak bedanya dengan Ayah. Bahkan sang Ayah lebih parah. Aku harus berpikir dan menghela napas dalam-dalam sebelum berhadapan atau berbicara dengan nya. Ada rasa tidak nyaman, ada rasa takut setiap kalinya.

Yang ada di pikiran mereka, aku..  aku hanyalah seorang anak, dibesarkan oleh mereka, diberi makan oleh mereka, dan harus mematuhi segala urusan yang mereka berikan, dan segala perintah yang mereka ucapkan. Hanya itu, tidaklah lebih. Apakah aku ini robot? Apakah aku ini makhluk tidak berperasaan dan tidak berakal? Well, bisa jadi demikian.
Aku sering berpikir, mengapa mereka bisa begitu keras? Apa semua orang harus dimusuhi mereka? Dan  mengapa mereka enggan mendengarkan cerita ku?  Apa dengan berbicara didepan mereka aku sudah cukup terlihat tidak sopan? Sombong? memancing pemberontakan? Atau kurang ajar?.
Mereka bahkan lebih menyesakkan dada.

-

Fakta-fakta sudah banyak terbukti disekitar kita. Banyak anak yang menderita atau bahasa sopan nya ‘tidak nyaman’ dengan profesi atau studi mereka saat ini karena menuruti kehendak kedua orang tua atau membiarkan mimpi mereka terkubur dibawah pijakan kaki kedua orang tua entah sampai kapan atau selama-lamanya. Mengerikan? Yap, tapi itulah yang ku tau dari beberapa teman ku dan juga saudara-saudra ku. Mereka mungkin terlihat baik  dan berhasil menurut orang tua mereka, mereka lulus dari kampus pilihan orang tua mereka, mereka kerja di institusi atau kantor pilihan orang tua mereka, menikah dengan menantu pilihan orang tua mereka dan meninggal. Terlihat ideal memang, tapi sungguh, apakah itu hidup yang benar-benar mereka inginkan? Oh Tidak mungkin.


Mari berkhayal mungkin hidup kita bisa terulang atau nafas kehidupan kita terdapat puluhan slot sehingga ketika mati, bisa bangkit untuk hidup  lagi di dunia, namun kita semua tau bahwa hidup hanya sekali, dan mengapa tidak memanfaatkan waktu singkat kita ini untuk membangun impian kita? Untuk hidup dalam cita-cita kita? Untuk Living our dreams!
Sungguh tidak masuk akal ketika hidup kita diatur oleh seseorang dan medikte setiap keputusan hidup kita. Karena satu –satunya orang yang bisa merubah hidup kita dan mengatur jalan hidup kita tidak lain adalah diri kita sendiri, You Do You!

Dan fakta menyedihkan lain adalah masih kurangnya kesadaran orang tua akan pilihan anak-anak mereka. Mereka tidak percaya akan kemampuan kami, mereka meragukan lebih banyak  dari pada meyakinkan. Dan hasilnya adalah anak-anak yang labil, anak-anak yang  bermental kerupuk, anak-anak yang terombang-ambing di lautan dunia tanpa tujuan jelas pada akhirnya. 


Apa kau pernah dimarahi karena terlalu banyak bertanya tentang suatu hal? Apa kau pernah dibentak karena melakukan penelitian kecil-kecilan dengan serangga karena menurut orang tua mu hal tersebut konyol? Apa kau dulunya adalah seorang anak yang memiliki rasa penasaran tinggi namun belakangan tidak mau terlihat berbeda dengan orang lain? Tau tidak bahwa pada akhirnya hal ini berimbas pada perkembangan suatu negara? Ya, karena bangsa yang kuat pastinya memiliki generasi atau pemuda-pemuda yang bermental baja, yang sigap, yang penuh wawasan dan penuh semangat mengejar cita-cita, anak-anak yang penuh imajinasi dan inovasi, yang memiliki rasa penasaran tinggi. But guess what? Mostly parents do not think about that.
Aku sendiri, selalu di kecam, di anggap remeh, di bentak, di salahkan bahkan mungkin paling parah bagiku di permalukan di depan umum dan tidak di hargai.

Aku belum tau apa penyebab pasti apa yang membuat orang tua ku menjadi abusive. Tapi yang pasti mereka sudah bersikap demikian sejak aku masih kecil, sehingga aku bisa dibilang tumbuh menjadi anak yang juga ‘suka melawan’ dan keras kepala.
Namun, syukurlah beberapa proses dalam hidupku, dan beberapa buku yang sudah kubaca, membuka mataku, bahwa marah itu tidak ada untungnya. Mereka (orang tua ku) melakukan hal tersebut mungkin karena ketidakpercayaan mereka terhadap diri mereka sendiri, dan melampiaskannya kepada ku, mereka nyatanya tidak bisa mengontrol emosi dan berusaha menarik ku mengikuti amarah mereka (dan beberapa tahun lalu berhasil), menyalahkanku dan mengharapkan respon yang sama dariku. Namun, sekarang aku tau bahwa tidak ada yang bisa mengontrol emosi dan mood ku, selain diriku sendiri.

Tentang anak-anak yang menderita dalam kehidupan, mereka adalah korban, mereka adalah korban ke egoisan orang tua mereka, orang –orang yang dianggap peduli terhadap mereka dan tidak ada yang bisa membantah hal seperti Budaya dan Adat. Apalagi bagi kita yang tinggal di Indonesia ini, dimana pemikiran-pemikiran kuno masih subur dimana-mana. Negara-negara Eropa yang semakin maju sering menggelengkan kepala bertanya “mengapa mereka tidak sadar juga?.


Kita terperangkap di bawah dogma dan pendapat –pendapat orang lain, bahwa pengakuan adalah segalanya, bahwa pendidikan adalah alat sosial untuk mendongkrak harga diri dan lain – lain. Kita hidup dan terbentuk berdasarkan pendapat orang lain, dan membiarkan keunikan sejati kita terkubur dalam – dalam tanpa jalan keluar. We Live in with Society, but they can’t decide what you are going to do, they can’t decide what your future is, but the only one to decides is You, Yourself!

Yang kumaksud dengan adat disini, adalah adat seorang anak terhadap orang tua yang cenderung tunduk dibawah aturan orang tua, dan  melawan (atau tidak setuju) adalah dosa, masuk neraka, durhaka dll. Bukankah ini sedikit lucu? Apa aku harus mengikuti seluruh keinginan mereka?

Budaya atau adat di sini memang mendewakan orang yang lebih tua atau setidaknya menghormati mereka, dan  itu wajar. Namun sering kali, para orang tua sering menyalah gunakan kekuasaan itu untuk mendikte kehidupan anak anak mereka dan lebih parah yaitu mereka tidak mau di komentari, mereka  tidak mau mendengarkan anak mereka, mereka selalu merasa paling benar. Contohnya saja, ketika kecil aku masih ingat, Ibu ku sering melarang ku bermain, berlari dan melakukan hal-hal yang memancing rasa penasaran ku. Namun faktanya rasa penasaran seorang anak yang adalah faktor penting dalam perkembangannya, justru dianggap sebagai "kenakalan” yang harus dibasmi.


Seorang anak yang mencapai usia delapan-belas tahun, sudah memiliki hak istimewa lainnya, yaitu meninggalkan rumah (menurut beberapa sumber yang kubaca). 
Dan ide untuk keluar dari rumah selalu menjadi angan-angan terbaikku. Jika berada di dalam rumah ini bersama orang tua ku membuat ku tidak berkembang dan cenderung menolak ku, mungkin dunia luar sana bisa menerima aku?
Memang benar bahwa mungkin ini semua adalah bagian dari  ujian kehidupan yang harus ku hadapi, sebelum menjadi ‘seseorang’ atau begitu lah tanggapan orang pada umumnya di dunia sini, mereka menyetujuinya, mereka menerimanya, mereka pasrah akan itu semua. Tidak sadar bahwa bisa saja seseorang yang keluar dari rumah adalah bukan apa-apa, melainkan produk kekacauan keluarga, produk amarah kedua orangtua nya.

Aku juga pernah membaca sebuah artikel, yang menyebutkan hal-hal yang harus seorang anak lakukan jika terjadi hal yang buruk terhadap mental/emosional maupun fisiknya disebabkan oleh orang tua. Mereka biasa menyebutnya abusive parent, mentally dan physically.
Dan salah satu nya adalah dengan get out of the house (jika sudah cukup umur), menjauh dari orang tua, tetap bersikap baik, membicarakan masalah dengan orang tua, menjauhi perdebatan, sampai melapor kepihak yang berwenang. Dari beberapa pilihan itu, aku sudah melakukan yang ‘tetap berbuat baik dan sopan’, namun mereka tetap abusive dan aku mengerti bahwa aku tidak bisa merubah sikap seseorang maupun pemikiran mereka. Seperti kata Om Galileo:
You cannot teach a man anything; You can only help him to find it within himself.” – Galileo Galilei

Dan menurutku, juga bahwa pergi dari rumah adalah salah satu yang terbaik, mengingat umur ku yang sudah delapan-belas dan kemampuan ku untuk  bertahan hidup sudah cukup mendukung (bisa cari kerja). Tapi sayangnya aku tidak senekat itu, mungkin belum berani juga.

Aku juga bisa melapor ke pihak berwenang mengenai apa yang ku alami selama ini, namun aku tinggal didaerah seperti ini, selain terpencil tapi budaya akan kedigdayaan orang tua dan kemuliaan mereka yang tidak bisa dibantah masih sangat kental, sehingga kecil kemungkinan ada seseorang yang mau mendengar cerita ku.
Menurut artikel itu (WikiHow) juga, seorang anak bisa melapor ke pihak berwenang, jika mengalami:
Di bentak.
Di sumpahi, sumpah serapah, di caci maki.
Mendapat cara bicara yang tidak bersahabat, layak, sopan, atau cenderung tidak menghargai.
Dipermalukan, dikerdilkan, dibodohi.
Diancam sesuatu hal (e.g mengancam akan membunuh peliharaan, memukul, atau melukai orang yang dicintai)
Disindir dan komentar menghina.
Mengejek, menertawakan,  menakut-nakuti dll.
Menertawakn dan mengejek dalam segala hal, baik itu gaya rambutmu, berat badan mu, bentuk tubuhmu, pakaian, apa yang kau lakukan dll.
Menghalangi mu menghubungi teman atau keluarga.
Tertawa dan tidak besimpati ketika kalah atau terpuruk       
Senantiasa mengkritik dan menjatuhkan.
Penggunaan nama yang tidak baik (memanggil dengan beberapa sebutan yang tidak disukai).
Menjatuhkan harga diri mu(e.g mengatakan bahwa “kamu bukan lah apa-apa”, atau mengatakan bahwa mereka harap kamu tidak pernah dilahirkan).
Menolak dan mengacuhkan berkomunikasi dengan mu.
Membicarakan mu dan ber-gossip dibelakang mu.
Selalu menyalahkan mu atas kekeliruan, masalah dan hal-hal yang tidak kau sebabkan terjadi dan sebenarnya bukan salahmu.
Memperlakukan mu seperti seorang anak kecil dan menggunakan kata-kata bayi jika kamu adalah seorang remaja/pemuda.
Membuat mu harus menjawab pertanyaan atau pernyataan hal – hal yang tidak nyaman bagi mu untuk dijawab.
Mencampuri urusan pribadi (e.g menanyakan pertanyaan pribadi, tidak menghormati privasi mu)
Membuat kesuksesan atau pencapaian mu seperti sebuah kegagalan (e.g “kamu mendapat nilai 94 yang berarti A, tetapi seharusnya kamu mendapatkan nilai 100”).
-          Menganggap tidak penting atau tidak berarti segala pendapat dan kepercayaan mu.
-          Sering membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain (e.g “kamu seharusnya melakukan hal itu”; “kamu seharusnya bisa seperti dia”; “kamu seharusnya bekerja disana” dll.)
Dll.

Apa yang seharusnya kita sadari disini bahwa hal-hal semacam diatas, meski  tidak secara fisik, namun dapat mempengaruhi mental dan emosi seorang anak.

Apa yang akan terjadi jika yang diharapkan seorang anak adalah hanya sebuah apresiasi sederhana untuk pencapaian nya baik itu disekolah atau didunia kerja namun yang diterima nya justru penghinaan dan kekecewaan dari orang tua? Lalu dari mana lagi asal penyemangat itu?
Mungkin secara pribadi aku akan diam saja, dan tidak menghiraukan orang tua ku; karena aku juga sudah pernah merasakannya, tapi bagaimana pada anak yang masih labil dan butuh dukungan orang tuanya? Apa yang akan terjadi dengan bakat-bakat terpendamnya?

Bukankah lebih baik jika kita mengkomunikasikan masalah bersama orang tua kita? Bukankah lebih bijaksana bagi mereka orang tua untuk bekerja sama dengan kami, anak-anak mereka?
Sungguh ironi melihat dan merasakan sendiri hal-hal semacam ini masih sering terjadi pada anak-anak di Indonesia. Bukan berarti bahwa seluruh orang tua begitu, tetapi kebanyakan orang tua masih terperangkap dalam dogma dan adat. Sehingga pemikiran modern tentang anak mereka ditolak dan cenderung menjadi seorang dictator bagi darah daging mereka sendiri.

Aku tidak heran Indonesia masih terus jalan ditempat, ditinggalkan negara-negara lainnya yang semakin maju dalam berpikir. Nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan disekolah nyatanya hanya sebuah omong kosong bila lingkungan keluarga dirumah berantakan.

Apa susahnya para orang tua bersikap lebih toleran? Apa susahnya bagi mereka untuk bersikap  lebih terbuka dan mendengarkan suara anak mereka?

Pemikiran orang tua modern masih jauh dari kenyataan, -mengingat usia orang tua kami yang sudah cukup tua (read:berpengalaman) sehingga kemungkinan untuk berubah semakin kecil.  Namun aku sendiri secara pribadi berharap di masa yang akan datang, kami generasi yang akan menjadi orang tua juga akan bisa merubah sikap dan lebih memahami pemikiran anak-anak kami.
Semua itu datangnya dari hati, bukan dari  pemikiran orang lain.

Kebaikan dilakukan atas dasar hati bukan karena imbalan atau iming-iming (read:pahala/dosa). 
Orang tua adalah penuntun dan pemberi saran bagi anak mereka, namun sesunguhnya keputusan ada ditangan kami para anak, dan mereka haruslah menghargai apapun keputusan itu, lalu janganlah  membandingkan kami dengan orang lain, kami masih terlalu muda, kami masih miskin pengalaman, alangkah bahagianya kami dengan apresiasi sederhana dan dukungan semangat dari mereka orang tua.

Lalu sampai kapan kami akan diperlakukan seperti  ini? Tidak ada jawaban pasti tentang itu. Namun hal yang harus diingat pula, bahwa mereka tetaplah orangtua kita, dan mereka tidaklah pantas menerima  kemarahan dari kita, anak mereka. Mungkin pendekatan-pendekatan secara lebih halus dan sopan akan menarik bagi mereka? Seperti seorang bijak  mengatakan:
Hatred is never ended by hatred, but by love.

Artinya jika orang tua mu memperlakukan mu dengan keras dan penuh amarah, balaslah dengan perbuatan baik kepada mereka.

He who treads softly goes far.” – Chinese proverb.


“You don’t belong to your parents. Make yourself proud, and your parents should be proud of you just because you’re their kid and they love you. Most of the people I know who are miserable in life are miserable because they’re trying to live up their parents’ expectations, if you spend the rest of your life working at a gas station and building toy trains but you are Happy, your parents should be happy for you. If they’re not, screw them because the world needs gas station employees and your toy trains are cool.”  

NOTE:

Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi saya, dan dengan tulisan ini, saya berharap bisa membantu teman-teman lain (yang mungkin merasakan yang sama). Namun sesungguhnya kita sebagai anak haruslah tetap menghormati kedua orang tua kita (dan juga semua orang) dan memperlakukan nereka selayak dan sebaik mungkin. Merekalah yang menjaga, merawat dan membesarkan kita hingga menjadi siapa kita sekarang. Sayangilah mereka dan coba berbicaralah dengan mereka


Apa kalian punya pendapat tentang abusive parents ?
Silahkan berbagi bersama ku. Terima kasih sudah membaca. BS

No comments:

Post a Comment