Sunday, 10 July 2016

Short Story: First Affection


First Affection

“Cinta dalam kesalahan selalu buta, selalu membahagiakan, tak terikat oleh peraturan, bersayap, dan tak terbatas, serta menembus semua rantai – rantai pemikiran.”   Shakespeare.

Dua hari sudah setelah percakapan di telpon malam  itu, dan setelah turun dari sepeda motor,  sekarang kami berjalan bersama  ke gedung teen-center. Hari ini aku akan menonton tournament dance terbesar di West-Brook, dan sekaligus memberi dukungan kepada  sahabat ku yang satu  ini. Dia adalah  salah  satu  kontestan yang akan  tampil hari ini.
Kami berjalan  berdampingan  layaknya sahabat yang sudah saling mengenal baik selama bertahun-tahun. Sesekali laki-laki bermata biru itu menarik-narik ujung rambut ku yang terurai. Namun, mungkin kalian akan terkejut  mengetahui kehidupan  kami sebelumnya, bahkan tidak sampai bertahun – tahun, aku cukup heran bisa bertemu dengannya. Hati ku terasa jernih hari ini. Kupandang sekilas wajahnya dari samping, senyum  bahagia tergantung di wajahnya. Aku rasa memang hari ini adalah  hari baik bagi dia maupun aku.
Langit biru tanpa segumpal awan  menambah  kecerahan hari ini, dengan udara musim  gugurnya, sesekali aku tersenyum diterpa angin semilir.  Memikirkan betapa anehnya hidup ini, betapa cepatnya semua berubah.. Dan menebak apakah  laki-laki disampingku  ini  juga berpikiran  yang sama? memang memikirkannya saja sudah  lucu,  minggu-minggu yang singkat itu, haruslah diingat selalu, menganggap semua nya sebagai memori penting, walaupun akhirnya, aku menemukan kembali diri ku yang sebenarnya, dan sungguh,  itu sudah cukup bagiku.

-

Langkah  kaki  ku santai namun berat. Kuperhatikan  kedua kaki ku melangkah, di atas jalan berbatu ini, kedua tanganku  berada di bagian depan  kantong jaket. Aku memperhatikan sekeliling, daun musim gugur mulai berjatuhan. Begitu pun angin yang  menderu disela-sela ranting pepohonan, menghasilkkan suara yang bagiku terdengar sederhana namun  merdu, terasa tentram.
Setidaknya aku punya cara sendiri untuk menghilangkan  penat dikepala, dan  sedikit membuatnya segar.
Langkah ku terhenti ketika tiba-tiba melihat sepasang muda-mudi sedang duduk di kursi taman. Sang lelaki merangkul gadis itu, dan dari  wajah mereka, jelas lah terlihat kebahagiaan, tersenyum bahkan tertawa tanpa seorang pun tau penyebabnya kecuali mereka. Mereka terlihat intim, cukup untuk membuat ku membuang muka. Aku kembali melanjutkan jalan-jalan ku.
Sore ini aku senang bisa keluar dari rumah untuk menghirup udara segar dan menyapa dunia luar, dalam harapan akan menikmati kesendirian dan ketentraman, namun apa yang ku lihat barusan sedikit mengganggu ku.
Beberapa minggu terakhir, pikiran ku terperangkap oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Pada malam ulang tahun ku yang ke tujuh belas. Aku bahkan merasa teman-teman ku sudah bersekongkol untuk memojokkanku. Pertanyaan mereka identik
“Jean, Kapan kamu punya cowok?”
“Belum mau  pacaran kamu? Sudah tujuh belas tahun loh, heran aku.”
“mau aku carikan pacar jean?”


-

Pacar, lelaki, cowok atau apalah itu, ide yang belum ku setujui  untuk ditindak lanjuti.
Merasuk dipikiranku, seperti menahan suara ku belakangan ini. Memang orang-orang kerap bilang tujuh belas tahun,  atau usia peralihan seperti ini adalah masa untuk seseorang mencari jatidiri, tak terkecuali mencoba dan merasakan apa itu cinta. Tapi aku? Aku yang sejak kecil, diajarkan untuk fokus belajar dan belajar, tak sempat memikirkan hal semacam itu.
Sampai sekarang aku  masih selalu mengingat perkataan  mama
“Sekolah dulu, baru pacaran. Pacaran itu  cuma buang-buang waktu, tidak ada manfaat untuk kamu yang masih remaja”
Keheranan teman-teman ku akan hal ini juga bukan sekedar karena usia ku yang sudah  layak, namun karena kepribadianku. Aku adalah murid disalah satu SMA Negeri di West-brook. Dan sekarang sudah kelas senior, bulan depan  ujian akhir. Aku dikenal sebagai murid yang pintar dan rajin, tentu dalam hal akademik, dan juga karena keaktifan ku dikelas, maka teman-teman mempercayakan ku menjabat ketua kelas mereka. Semenjak kelas junior, aku selalu mendapat peringkat tiga besar di dalam kelas. Dan sering mewakili sekolah untuk mengikuti lomba ilmiah. Semua guru mengenal diriku, Jean Audrey. Meski bisa saja akan menjadi satu – satunya gadis tanpa pasangan di malam  perpisahan nanti, tapi aku tidak bisa dianggap tak punya teman, semua murid senior juga mengenal ku, hal  itu wajar karena prestasi ku disekolah.
Teman-teman ku sudah sering mendorong ku untuk melakukan  hal yang belum pernah ku lakukan selama ini, Pacaran.

Karena pikiran ku tambah kacau, aku tak sempat singgah duduk di bangku taman. Aku kembali berjalan pulang, kali ini langkah ku cepat, dan  terarah.
Sudah pukul enam  ketika aku sampai dirumah, orangtua ku belum ada dirumah, jadi tak ada salam atau semacamnya aku langsung masuk.
Kulepaskan jaket, dan sepatu canvas ku, dan membanting tubuh ke kasur.
Wajah ku agak panas dicuaca dingin seperti ini, ku tempelkan kedua tanganku diwajah untuk merasakannya.
Apa yang harus kulakukan?
Bukankah pacaran itu hal konyol?
Aku sudah melihat Jessica beberapa kali menangis tidak jelas gara-gara seorang pria tidak membalas pesannya.
Begitu pula Anne, bahkan aku pikir dia sudah tidak waras, yang rela meninggalkan ku di stasiun sendirian demi seorang laki-laki yang baru dikenalnya selama 2 hari.
Kubalikkan tubuhku, sambil tengkurap. Ini adalah posisi favoritku. Rasanya seperti bersembunyi dari terror dunia. Semakin lama perasaan ku semakin tidak terkendali, pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul, menahan setiap hembusan nafasku, seperti tercekik.
“Aku tidak bisa” aku berkata pada diri sendiri sambil bangkit,
“ini gila.”
Aku menanggalkan semua pakaian yang membalut tubuhku, dan masuk ke kamar mandi.
Berada dibawah air hangat akan meringankan ketegangan ini, pikirku.
Setelah mandi, aku duduk di depan komputerku. Menatap lekat-lekat wallpapernya. Foto-foto ku saat masih bayi silih berganti memenuhi layar itu. Betapa polosnya nya aku waktu itu, betapa indahnya dunia waktu itu, tak ada orang-orang yang menekan mu untuk pacaran!
Cleo masuk kekamar  ku diam-diam dan naik ke pangkuanku, kucing ini sebenarnya manis, namun sering membuat kekacauan jika melihat bayangan cicak. Tapi aku pikir dia kucing yang pemberani dan bisa mengerti perasaan ku, kadang-kadang. Bulu nya seputih kapas, namun tidak begitu kelakuannya, pernah suatu kali tetangga kami datang mengomel karena anjing mereka si Rambo dicakar Cleo sampai meringgis. Jika mengingat peristiwa itu, aku sering menjaga jarak dengan Cleo.
Kembali ku yakinkan diriku untuk melupakan hal-hal tak berguna tentang orang-orang. Mencoba fokkus ke materi bacaan, dan berbahagia. Tetap bahagia.
Keesokan paginya saat dikelas, saat jam  pelajaran belum diisi oleh guru, Anne tiba-tiba menarik ku ke luar kelas, mungkin karena di dalam terlalu banyak orang dan ribut.
“Jean ku, ya Tuhan! Ada yang harus kamu tau.”
 “Ada apa ?” aku menyergah
“Kamu tau Sandro? Sandro wijaya yang kelas senior”
“yang anggota tim Basket itu kan? Kenapa dia?”
“Jean sayang, tadi pagi dia sempat ngobrol denganku. Dan kamu tau apa yang dia tanyakan selam pembicaraan?”
Aku menggeleng kan kepala, bingung.
“dia menanyakan tentang kamu Jean! Dia menanyakan segala hal tentang kamu.”
“dan apa kamu sudah menerima pesan darinya? Karena tadi aku sudah memberikan nomor ponsel mu”
Anne terlihat sangat senang, dia trus saja meremas pergelangan tanganku sampai rasnya darah ku tersumbat.
“hah? Ya astaga.”
Telinga ku panas, dan aku aku  memandang lekat-lekat wajah Anne. Dia seperti berkata jujur.
Ini benar-benar konyol!  Pikirku.
Ada beberapa alas an membuat ku heran saat itu, pertama, aku  tidak pernah berbicara dengan si Sandro bahkan bertatapan pun jarang.  Kedua, mengapa dia ingin mengetahui segala macam tentang diriku? Ketiga, dan untuk yang satu ini, aku semakin yakin akan ketidak warasan Anne dengan memberikan nomor ponsel ku secara illegal.
“tidak usah pedulikan orang seperti mereka, aku tidak tertarik.” Kataku.
Aku tidak mau meneruskan pembahasan itu dan segera meninggalkan Anne sendiri.
Sepanjang kelas, aku tidak bisa konsentrasi. Meskipun tidak seharusnya ku pedulikan, tapi jika yang dikatakan Anne benar, aku tidak tau bagaimana akan keluar sekolah tanpa terlihat oleh Sandro.
Bel sekolah berbunyi,pertanda jam pelajaran sudah berakhir. Dan aku, iya aku, segera mengikuti kerumunan siswa yang mengarah ke gerbang sekolah. Aku pergi tanpa pamitan dengan teman-teman. Aku pikir mereka akan baik-baik saja.
 Aku melangkah sedikit cepat, tanpa memperhatikan sekeliling, hanya lurus kedepan. Tidak ada orang yang mengikuti ku, atau memanggilku. Semuanya terkendali.
Sampai dirumah  aku langsung membuka komputer dan  mulai  mengecek email.
Tak ada pesan baru, hanya pemberitahuan di social media. Dan beberapa komentar pengunjung di Blog.
Oh Ya! Blog ku. Sudah seminggu lebih aku tidak melihatnya.
Aku memang seorang Blogger. Sebenarnya bukan bermaksud jadi Blogger sungguhan. Namun dulu guru Ilmu Sosial ku menyuruh kami membuat tugas dan dimasukkan ke dalam Blog pribadi. Semenjak saat itu, aku jadi ketagihan  membuat artikel dan membalas komentar-komentar pembaca.
“Wah artikel yang keren, terima kasih Min karena informas ini sangat bermanfaat buatku. Oh ya Min, aku lihat di profil, sekolah di SMA Negeri West-Brook? Boleh tau kelas apa? Hehehe soalnya aku juga murid disitu”
Komentar itu, baru kali ini ada murid sekolah ku yang meninggalkan  komentar. Dan pastinya yang satu ini bukan dari anak IPS. Tidak mungkin, karena anak IPS semuanya mengenaliku. Akun itu menggunakan Unknown. Dia ingin bertanya informasi tentangku, sedangkan dia sendiri tidak mau  menunjukan nama asli. Dasar orang aneh.
Aku pun membalas :
“follow akun ku di twitter ya @JeanAudrey nanti ngobrol disitu”
Yap, aku sudah tidak tau mau balas apa lagi, dan menurutku di twitter lebih aman dari pada di Blog.

-

Selama ini, chatting dengan seorang cowok, adalah hal yang mengaktifkan sisi aneh dalam diriku. Entah karena hal itu jarang ku lakukan atau sesuatu hal lain yang datang dari dalam diriku. Aku akan mulai memikikirkan tentang si orang yang berada di seberang sana mengetik untukku, bukan memikirkan tentang tulisannya, tapi bagaimana ekspresinya, bagaimana emosi nya, dan cara pandangnya tentang balasan ku, semuanya memang aneh, tapi itulah yang terjadi ketika aku  harus chatting dengan seorang laki-laki, teman dekat maupun orang asing.
Dan ini juga yang terjadi sekarang, ketika si pemilikn akun unknown itu memulai pembicaraan ditwitter, dan ini terlalu cepat, apakah dia online setiap saat sehingga bisa langsung melihat balasan di blog ku?
Dia mulai dengan:
@Johaneux: “@JeanAudrey Hey min, aku yang komentar di blog. Dan aku pastinya menunggu jawaban hehe”
Jawaban? Jawaban apa?
Oh iya,  jawaban pertanyaan tadi, ayolah Jean!
@JeanAudrey: “@Johaneux wew, apa kau online tiap saat? Oke, aku anak IPS, senior kelas 12.”
@Johaneux: “haha sejujurnya aku online untuk ini. Oh, pantas aku tidak pernah dengar. Tapi aku benar-benar tertarik dengan tulisan-tulisan mu. Mungkin aku harus lebih sering ke *SiJau.”
*SiJau adalah singkatan dari Sisi Hijau. Semua murid di sekolah kami tau itu. Sisi Hijau adalah julukan untuk daerah gedung sekolah/kelas anak IPS. Sedangkan Sisi Biru (SiBu) untuk anak IPA. Aneh bukan?
@JeanAudrey: “terima kasih @Johaneux, tapi aku masih dalam pembelajaran juga untuk menulis, oh ya seharusnya begitu.”
@Johaneux: “@JeanAudrey dan mungkin bertemu dengan mu untuk membicarakan salah satu tulisan mu bisa menarik (:”
Apa? Aku sudah banyak mendapat email dari beberapa pengunjung Blog ku yang menyatakan bahwa mereka ingin bertemu denganku untuk berbicara tentang hal – hal dalam  tulisan ku. Sebenarnya yang kutulis cenderung kepada fenomena – fenomena alam dan trend maupun masalah sosial yang ada. Meski menurutku  tulisan – tulisan itu masih banyak kekurangannya, tapi aku tidak menyangka ada beberapa orang yang tertarik. Dan mengenai email mereka, aku hanya akan  membalas dengan alasan – alasan yang ku buat agar tidak bertemu dengan mereka, meski dalam menulis terlihat ‘kuat’ tapi aku tidak  terbiasa berbincang dengan orang asing.
Harus ku jawab apa kali ini? Kebanyakan alas an ku adalah bannyaknya kegiatan disekolah yang harus ku ikuti, dan semenjak yang bertanya kali ini sekolah di sekolah yang sama denganku, dan tentunya dia tau bahwa minggu ini semua kegiatan ekstrakurikuler di hentikan untuk persiapan ujian, dan fakta bahwa beberapa ekstrakurikuler benar-benar sudah tidak aktif, hanya ada kelas paduan suara dan pramuka yang diadakan hanya jika ada event. Aku tidak punya alasan untuk berbohong tentang kegiatan sekolah.
hal terburuk akan terjadi jika aku tidak bisa menghindar.
@JeanAudrey: “apa kau kelas 12? Tidakkah bersiap-siap ujian? @Johaneux beberapa guru kami sedang giat membuat kelas tambahan, ku harap kau paham”
Oke, aku sudah terdengar cukup menghindar kali ini. Bahkan cenderung penolakan terhadap pertemuan ini, memang benar.
Aku kejam, aku jahat, aku sombong, apalagi hah?
@Johaneux: “@JeanAdrey: ohh ya sayang sekali. iya aku kelas senior juga, aku mengerti (: ”
@Johaneux: “@JeanAudrey: mungkinlain kali, tapi ku harap bisa berpapasan dengan mu di kantin atau perpus? Haha ”
Well, boleh-boleh saja selama aku bisa menyembunyikan diri sebaik mungkin.
@JeanAudrey: “benar sekali, kecuali jika kau mengenal wajah ku hahaha”
Aku langsung menutup komputer ku.
Ini gawat, tapi kenapa gawat? kenapa harus takut ? dia tidak mungkin mengenal  ku kan? Kami tidak akan bertemu dengan tidak sengaja, tapi sejujurnya lebih baik begitu daripada harus bertemu karena sudah direncanakan dahulu, aku tidak tau apa istilahnya itu. Lagipula jika memang aku bertemu dengan dia, apa aku harus menyiapkan beberapa bahan obrolan? Tidak mungkin. Pasti hanya basa-basi dan dia akan segera pergi  menghilang. Iya, pasti.
Semuanya terasa aneh bagiku karena ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang entah dari dunia mana mengajak ku bertemu, meskipun hal ini tidak ada maksud apa-apa selain tentang Blog ku, tapi aku merasa janggal, ada rasa malu, penasaran, takut dan senang bercampur.
Berbaring di atas kasur, aku membayang seperti apa rupa laki-laki tadi. Apakah dia benar-benar serius akan membicarakan tentang tulisan ku? Apa dia baik hati? Atau mungkin saja dia salah satu berandalan sekolah? Aku curiga dia Jesica atau Anne yang menyamar, aku pernah mendengar Anne di buat tertipu oleh akun asing yang mengajaknya jalan, tapi ternyata itu perbuatan Jesica yang iseng.
Khayalan segera terhenti oleh kedatangan Mama di pintu kamar.
“Belum makan? Ada opor ayam baru dimasak”
“oh iya Mum. Aku juga baru mau ke dapur”
Dengan girang aku berjalan ke dapur, perutku juga sudah tertipu oleh kesibukan ku memikirkan hal tadi.
Mama,juru masa terbaik milik keluarga kami. Lidahku selalu terpuaskan akan masakannya. Tidak terkecuali kali ini. Opor ayam, kentang dengan saus kacang, ikan bakar, semuanya ku keluarkan dari  lemari. Ku makan secara perlahan namun tak melewatkan setiap bagiannya.
Setelah makan, aku kembali ke kamar, perutku sudah terlalu kenyang bahkan aku berjalan sedikit menonjolkon bagian depan perutku, dan mengusapnya.
Malam itu setelah membersihkan diri dan membacamateri pelajaran, aku tertidur.

-

Di sekolah kami siswa senior seperti dikurung didalam kelas, guru-guru tak henti masuk dan memberikan materi. tiga pelajaran berturut-turut tanpa  memberikan peluang bagi kami keluar menghirup udara. Beberapa murid dengan cerdik bisa memberikan alas an untuk keluar kelas, kami istirahat didalam kelas, makan pun dalam kelas. Sampai pelajaran ke lima, aku sudah kecapekan. Wajah ku sudah tak karuan, ini namanya wajah ‘kesengsaraan murid senior’ dan aku sudah tidak sabar menunjukkannya kepada orang tua ku, agar aku bisa mendapat jatah tidur lebih panjang. Apakah jadi murid senior harus tersiksa seperti ini?
Hari sudah sore ketikakami akhrinya bisa keluar dan beristirahat dirumah. Tapi impian ku untuk berguling di tempat tidur secepatnya terganggu oleh dua makhluk yang selalu menguntitku.
Jesica dan Anne mengajak ku pergi ke kantin, memaksa ku untuk jangan dulu pulang, alasan mereka ingin membeli sesuatu dan bertemu seseorang, dan pasti itu laki-laki!
Jesica meyakinkan ku untuk ikut, dengan sedikit merengek.  Aku tidak tahan dan akhirnya ikut.
Sampai disana, mereka berdua harus antri mendapatkan minuman karena banyak  murid juga yang berada disana. Sedangkan aku  karena tidak suka minuman soda-asam disini, hanya duduk di kursi berkaki tiga. Ku perhatikan kerumunan manusia dan, ternyata murid-murid yang ada disini kebanyakan murid SiBu. Aku bisa melihat warna biru dan huruf IPA di lambang kemeja mereka. Tidak ada yang ku kenal, memang aku jarang ke SiBu atau bergaul dengan murid-muridnya. Kami memang seperti dua kubu yang berbeda, dan tidak cukup harmonis. 
Tunggu dulu, kalau disini banyak murid SiBu, sedangkan posisi ku yang sangat jelas terlihat oleh dunia duduk sendirian disini, apakah orang yang ditwitter itu ada juga disini?
Oh tidak, tidak mungkin. Aku segera melirik ke Jesica dan Anne. Mereka membelakangi ku, sibuk mengantri. Aku harus pergi dari sini secepatnya. Aku tidak mau sampai kecelakaan pertemuan terjadi. Dengan rupa ku sekarang? Tidak akan!
Tapi bagaimana mungkin mereka berdua akan membiarkan ku pergi?
Aku memandang ke segala arah, meperhatikan jika ada manusia yang mencurigakan memandang kearah ku, tidak ada. Dia tidak mungkin disini, dan mengapa juga aku harus mengkhawatirkan ini?
Aku mengambil buku dan mencoba membacanya, aku  harap dengan begini posisi ku agak tersamar.
Tapi tetap gelisah, sesekali aku menengok kearah depan, kalau-kalau ada seseorang yang datang aku bisa langsung memutar tubuh dan  lari.
Tapi kemudian kelegaan ku muncul ketika yang datang adalah dua temanku. Ah akhirnya kalian datang.
“Sudah? Syukurlah, ayo pergi”
Jesica menahan  tanganku
“tunggu Jean, apa kau ada urusan penting? Kita harus menunggu Sandro. Dia ingin bertemu dengan mu”
Sandro? Laki-laki yang menitip salam kepada ku? Yang ingin mencari tahu semua tentang ku dari Anne? Oh tidak, mengapa harus menunggunya?
Wajah ku dari yang letih berubah menjadi lebih masam.
“Ada urusan apa kalian dengannya? Iya! Aku ada urusan penting, pikiran ku harus segera istriahat!”  kataku  kali ini dengan  nada suara berat.
aku yang tanpa mempedulikan lagi reaksi keduanya langsung berjalan pergi, membiarkan genggaman  Jesica terlepas.
“Jean..” Suara Anne lirih, tapi aku tidak memandang lagi.
Apa ,mereka gila?
Aku akan menjadi makhluk paling bodoh berdiri diantara mereka! Lengkap sudah hari ini kesengsaraan dikelas ditambah kekonyolan yang harus ku hadapi dari dua teman ku, yang entah semakin hari semakin menjadi-jadi.
Berjalan di lorong sempit antara gedung kelas sepuluh dan  perpustakaan, aku berhenti sejenak. Mulai menghakimi perbuatakan ku barusan. Apa tadi aku terlalu kasar? Apa mereka baik-baik saja? Mereka akan membenci ku? Mungkin aku sudah tak terkendali dan meninggalkan kesan yang terlalu buruk?
Tapi mereka memaksa ku melakukannya kan? Ini semua tidak harus dikhawatirkan.
Kulanjutkan berjalan, kali  ini tujuanku benar-benar sampai dirumah. Sudah cukup kekacauan pikiran ku hari ini, aku butuh istirahat.
Entah karena terlalu kesal, aku sperti menolak senyuman yang datang dari manusia-manusia sepanjang jalan. Bahkan sapaan mereka, yang ku pikir adalah teman-temanku,tidak ku pedulikan. Aku memandang lurus kedepan, dan  mungkin dengan begitu mereka bisa mengerti kalau aku tidak dalam situasi yang baik.
Meskipun sudah waktu pulang, namun masih banyak murid-murid yang berkeliling disekitar kelas, di taman, lorong-lorong, silih berganti kerumunan murid seperti menghalangi dan memperlambat gerakan ku. Waktu terasa melambat, ketika ada yang memanggilku dari arah belakang. Aku bisa mendengar suara nya. Namun tetap melangkah sampai sebuah tangan  meraih pundakku, dengan lembut.
“Jean?.”
Pikiran ku sedang kacau, dan panggilan itu, tangan dipundakku, kerumunan orang-orang dihadapanku, aku ingin segera berbalik arah dan berteriak ke wajah siapapun yang sekarang berada di belakangku.
Mau apa lagi mereka? Oke, sekarang semua orang sudah bersekongkol agar aku menyadari kesalahanku dengan tidak ingin bertemu Sandro? Dan membentak teman-teman ku?
Aku berbalik arah dan mulut ku segera tertahan. Laki-laki yang berada dihadapanku adalah orang yang tidak ku kenal, orang asing.
“Iya?” suara ku merendah
“eh maaf sebelumnya, tapi aku sudah bertanya – tanya disekeliling sini tentang mu. Dan semua bukti mengarah pada mu, apa kah  kamu Jean Audrey?” katanya.
Bukti? Bukti apa? Apa sekarang tanpa sengaja aku sudah membunuh salah satu murid? Dan murid yang satu ini datang untuk meminta pertanggung jawaban ku?
“ehm,  Iya, aku Jean. Jean Audrey”
“Ada apa ya?”
Dia menjulurkan tangan, dan  tersenyum cemerlang.
“hay, aku Johan.” Secara antusias.
“kamu masih ingat kan kemarin malam? Twitter?” lanjutnya.
Tunggu dulu, twitter? kemarin malam? oh ya tentu saja, dan Blog dan semua chatting itu, usaha ku untuk menghindar,  dan wajah ku yang berantakan ini,  sempurna!
“Oh ya ampun.” Aku menyambut tangannya dengan ekspresi paling bodoh. Aku rasa dia akan kecewa.
“tentu aku ingat, baru beberapa jam yang lalu.” kataku
Mencoba mengimbangi senyumannya,  ku berusaha terlihat ceria untuk saat ini.
Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya? Dia mengajak ku untuk berjalan bersama-sama kea rah gerbang sekolah, nama lengkap nya Johan Saputra, dia lebih tinggi dari ku sekitar lima centi, rambutnya berwarna hitam lurus, cepak, dan alisnya begitu tebal sehingga aku yakin dia dibantu pensil alis, namun yang menarik perhatian ku adalah matanya, mata nya sebiru langit. Sepanjang itu kami bercerita, dengan serius, tentang tulisan ku di Blog. Aku juga mendapat banyak pujian darinya. Dan dia berhasil membuat ku bingung harus mengatur ekspresi, sejujurnya agak sedikit kurang paham tentang menghadapi pujian, apa aku harus tersenyum, tertawa, atau  berlagak tidak terjadi apa-apa?. Namun kebanyakan kata-kata nya tidak ku simak baik-baik, aku terlalu kikuk. Dia juga menjelaskan  kecintaannya terhadap dance, yang dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas, dan menghabiskan  liburan akhir pekan dengan latihan.
Kami akhirnya sampai dipintu gerbang, kini sesi perpisahan.
“aku rasa, sekarang adalah hari keberuntungan mu. Karena bisa bertemu dengan salah satu penggemar mu hahaaha” ucapnya.
Ya sangat beruntung, pikirku.
Aku bisa melihat ejekan dari tawa itu.                 
“oh, sejujurnya ini pertama  kali aku bertemu dengan seseorang yang menyukai tulisan ku.” Aku terdiam sejenak, kemudian  melanjutkan
“ku harap aku  memberikan kesan yang baik”
Dia masih tersenyum, dan  takkan pernah berhenti, menjawab:
“benar kah? Wow, aku yang pertama dan beruntung juga kalo begitu”
“ke arah mana kau akan pulang?” dia balik bertanya.
“aku akan ke Kalasey. Dan kamu?”
“ehm, berarti kita berbeda arah, aku tinggal di Johanesburg.”
Dia melanjutkan
“oke kalo begitu, senang bisa bertemu dengan mu  Jean. Aku harap bisa bertemu lagi, dan pasti aku akan  tetap mengunjungi Blog mu”
“tentu saja, senang juga bisa berkenalan dengan mu” aku tersenyum dan segera berjalan ke arah halte perhentian Bus.

Di bus aku memikirkan tentang Johan, betapa yang kudapat adalah ketulusana dari nada bicara nya, dan wajah yang antusias. Aku tidak bisa berbohong kalau ternyata dia memang nekat mencari tau keberadaanku dan ingin mengobrol walau hanya singkat.
Cukup membuatku tersipu. Iya, ada yang aneh dengan sistem  yang ada dalam tubuhku hari ini. Aku sudah tidak mau memikirkan Jesica, Anne ataupun Sandro, mereka sudah  cukup membuat ku sakit kepala. Yang ku pikirkan sekarang hanyalah Johan.
Meskipun juga dia sempat membuatku  kaget dan terintimidasi  atas kedatangan nya yang mendadak itu, tapi dari pembicaraan  kita tadi, aku bisa merasakan bahwa dia bukan anggota geng berandalan, dia terdengar cerdas dan  satu  lagi, terlihat manis.
Aku sampai dirumah dan  langsung menghantam tempat tidur, dan selanjutnya sudah tidak sadar.

-

Hari-hari selanjutnya berjalan dengan penuh kesabaran, guru-guru tetap masuk kelas lebih lama, dan bahan bacaan kami semakin menumpuk. Hubungan ku dengan Jesica dan Anne sudah membaik, namun aku masih tetap menjaga jarak, setelah kejadian itu mereka enggan menatap ku lebih dari enam-puluh detik.
Sedangkan Sandro? Aku celakanya lebih sering bertemu dengan laki-laki itu. Dia dengan beraninya sering datang ke kelas kami, menebar pesona ke setiap gadis yang ada. Aku tidak habis pikir mengapa dia begitu giat memperlihatkan keterampilannya memainkan bola basket, bahkan beberapa keterampilan lain seperti menyusun kartu di atas meja, namun tak ada seorangpun yang melirik kecuali beberapa gadis genit dikelas. Mengapa dia tidak menggaet salah satu dari mereka dan menjadikannya pacar? Atau sekalian istri?  Aku pernah mendengar bahwa dia sudah melayangkan lamaran pertunangan yang ditolak mentah-mentah oleh mantan kekasihnya.
Kehidupan ku berlangsung normal, hanya ada buku-buku, Blog dan keluarga ku yang bisa ku habiskan waktu bersama. Jean tetap lah Jean yang dulu, setidaknya untuk saat ini.
Aku tidak lagi bertemu dengan pengikut Blogku, Johan. Mungkin sama  seperti ku yangsibuk  mempersiapkan ujian atau latihan dance nya? Aku masih bersyukur akan hal itu. Namun, kami tidak pernah melewatkan satu  malam tanpa chatting. Iya, setiap malam kami chatting, dan sungguh diluar dugaan aku bisa membalas settiap tulisannya. Percakapan kami memang asik, dia banyak membuat lelucon tentang ketidak sukaan nya terhadap pengajaran guru mereka, dia juga membagikan cerita tentang sesi latihan dance nya yang semakin intensif secara bersamaan. Aku bisa dibuatnya tertawa geli sendiri, Mama ku sampai khawatir setiap malam.
“Jean, kamu baik-baik  saja kan?” kata mama sambil memberikanku teh hangat.
“mum” jawabku antusias “ aku baik-baik saja, semuanya baik.” Dan kembali tenggelam dalam media elektronik di tanganku.


-


Suatu hari, langit mendung, suhu udara menjadi rendah-dan kelas baru selesai, aku tanpa Jesica dan Anne sedang menunggu bus di halte ketika Sandro datang, membawakan minuman hangat untukku.
Apa lagi sekarng? Apa dia ingin mencuri simpati ku agar posisinya dikelas kami tetap baik? Pikirku.
“Jean..” dia memberikan semangkuk cappuccino latte  “cuaca sekarang cukup dingin, kamu harus menghangatkan tubuh.”
“oh, terima kasih. Tapi kau tidak usah repot-repot akan  hal itu Sandro” kataku sambil tersenyum geli.
“tidak apa-apa Jean, aku hanya melakukan apa yang baik untukmu” katanya dengan sedikit mengangkat dagu.
“hahaha..” tak bisa ku tahan  tawa melihat ekspresinya dan  melanjutkan “oke Sandro, sekarang aku akan terlihat lebih hangat, semoga kau nyaman.”
Aku yakin selama ini sikap ku terhadapnya memang cenderung sedingin es batu. Entah apa yang mendasari perilaku ku itu, namun sebenarnya tidak  ada yang harus dihindari dari Sandro, kecuali kata-kata nya terlalu mulus didengar oleh telinga gadis. Dia termasuk remaja yang baik dan supel, dan khusus untukku, perhatiannya kurasa lebih dari pada yang lain. Pendekatannya ke padaku dulu mungkin membuat penilaianku terhadapnya berubah. Anggota tim basket sekolah kami ini memang terkenal Playboy, aku rasa setiap gadis di sekolah ku sudah ada dalam  list mantan pacarnya. Tidak heran kalau sering kali yang aku lihat bukan tatapan kekaguman yang di dapatnya dari gadis-gadis yang ku kenal, namun tatapan penyesalan.
Bus akhirnya datang setelah kami menunggu sekitar dua jam, waktu yang cukup lama dari biasanya, dan aku berpamitan kepada Sandro, menyampaikan rasa terima kasih ku kepadanya dan menghilang dalam bus.

-

Beberapa hari selanjutnya, semakin dekat dengan hari Ujian, urat-urat saraf di kepalaku mengencang. Setiap pelajaran yang kami dapat terasa semakin mengerikan tiap hari. Dan ditambah tugas sebagai ketua kelas ku untuk tetap menjaga keutuhan kelas, dan kadang menyemangati teman-teman ku agar tidak kehilangan akal di saat-saat kritis seperti sekarang.
Aku sudah terbiasa dengan kebaikan Sandro, yang menurut ku diluar kendalinya sendiri, akan cokelat-cokelat ‘penyemangat’ nya, kue ‘kepintaran’ dan lain nya. Beberapa teman ku sudah mulai muak akan hal itu, mereka secara trang-terangan membicarakan keburukan Sandro, dan menasehati ku untuk menjauh secepatnya. Aku berpikir, kadang mereka lucu ketika bisa berubah perspektif akan seseorang secepat kilat.
Namun, hanya Jesica dan Anne yang terlihat selalu berkaca-baca bahagia ketika melihat aku dan Sandro menghabiskan waktu belajar bersama. Mereka bahkan mendorong ku untuk menjadi guru private bagi Sandro, ayolah!

-

Semuanya semakin baik dan semakin buruk secara bersamaan.
Suatu malam ketika semua murid senior sedang dalam  keadaan tegang, atau mungkin santai, aku tak terlalu memberi perhatian di daftar materi dan hafalan, karena aku  terlalu percaya diri menghadapi ujian esok lusa. Aku sudah  seharian berada di sekitar kamar dan ruang tamu, tanpa keluar rumah, karena hari ini hari sabtu aku habiskan hanya untuk membaca dan tentu saja meladeni guyonan Johan.
Bagaimana aku akan  menceritakannya? tapi beberapa hari belakangan, kami sangat akrab, meski hanya lewat pesan singkat. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan “Sweety” yang sering membuat ku kesal. Entah  atas dasar apa dia memanggil ku begitu, gagasan aku adalah makhluk manis mungkin ku terima, tapi kalau “sweety” yang keluar dari otak Johan menurut ku itu lebih mengarah ke ejekan, seperti manusia rentan dan lemah? Iya! Itu yang ada dipikiran ku.
Karena beberapa malam aku terlalu serius dengan kegiatan mengirim pesan, mama pernah bilang:
“seorang gadis bertukar pesan dengan pemuda setiap malam, mengabaikan makan malamnya hanya untuk melihat teks teks darinya, apa lagi yang tidak membuat ku curiga bahwa anak ku sedang jatuh cinta?”
Aku merasa malu, ya malu seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah bermain dengan  teman imajinasinya. Apa yang mama maksud? tapi teori dari nya bahwa aku sedang jatuh cinta selalu ku buang jauh-jauh, dan tidak akan ku terima begitu saja anggapan Mama, karena bagiku itu konyol. Tidak mungkin!
“Ingat sekolah mu Jean.” Kata mama dengan datarnya.
Aku harus berpura – pura membaca buku, dan menjauhi ruang tamu ketika sedang chatting belakangan ini, aku menghindari mama. Aku hanya tidak setuju dengan pendapatnya, meski itu tidak  mempengarhi ketertarikan ku akan laki-laki diseberang sana.
Satu hal lagi yang ku suka dari nya, adalah  pengertiannya terhadap pribadi ku. Bukan  ingin dimengerti sebenarnya, tapi lebih tepatnya memberiku sedikit kesempatan untuk lebih siap bertemu dengannya. Pernah suatu ketika dia mengajak ku bertemu makan siang, tapi dengan penuh kata-kata indah teratur menyusun alasan agar hal itu tidak terjadi, Johan seperti tertawa di  seberang sana, mengatakan:
“Entahlah, aku mengerti Jean. Sepertinya kau harus mempersiapkan diri dulu sebelum bertatapan lagi denganku, apa kau masih canggung?”
Laki-laki ini begitu percaya diri” gumamku.
Tapi yang sebenarnya adalah itu semua benar. Aku memang rasanya  belum siap bertemu  lagi dengannya, entah karena aku  takut membuat kesan yang buruk, atau tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatnya menjauh. Iya, aku tidak mau  laki-laki itu menjauh, dan aku belum tau alasan nya.
Hampir tiap malam, pertanyaan seperti “Are you ready yet?” selalu muncul di kolom chatting kami. Dan membuat ku sedikit berbenah.
malam ini juga aku menjawab “Ready..”
Kami menentukan tempat pertemuan di salah satu taman kota, besok hari minggu sore.
“Jean, mengapa kau tidak bertanya sesuatu tentang aku?”
Tulis Johan ketika topik nya melulu tentang jalannya kehidupanku.
“hahaha, aku tidak punya ide. Tapi, aku penasaran, mengapa kau ingin sekali bertemu dengan ku? Apa kau sudah sangat merindukan ku hingga mimpi buruk?” tulisku sambil tertawa geli, namun penuh emosi.
“mungkin ini yang namanya rindu? Kangen? Tapi, kalau boleh jujur, aku memang merasakannya. Aku rasa tidak cukup hanya tiap malam mengetik dan membaca tulisan, aku ingin melihat mu langsung Sweety.”
Muka ku memerah padam saat membacanya. Aku tersenyum, tapi senyum yang berbeda. Butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna tulisannya, dan mencoba memikirkan balasan yang tepat tanpa ada unsur “terpesona”.
Aku pun membalas :
“Ahh, aku sudah menduganya, gadis seperti ku memang sering dibilang orang ‘wajah ngangenin’. Tidak usah risau akan itu Jo. Mau tidak mau aku harus membagi kebahagiaan ku dengan orang-orang yang kangen pada ku.”
“iya, dan ada yang ingin aku sampaikan”  balasnya.
“oke.” Jawabku singkat, segera melempar ponsel ke sampingku.
Malam itu ku akhiri dengan mempertimbangkan apa aku harus membatalkan pertemuan  ini? Apa aku sudah hilang pikiran dengan mencoba bertemu dengan nya? Aku sudah membuat kesalahan fatal pasti, dan sayangnya tidak ada pilihan lain selain menghadapi hari esok.
Kantuk mengalahkan segalanya pada akhirnya. Malam yang terlalu menggelikan untuk  dipikirkan.

-


Keesokan harinya, aku masih harus membereskan kamar ku, setelah  tau bahwa ada seekor tikus masuk dalam keranjang sampah. Kemudian mencuci semua pakaian kotor yang berserakan dimana-mana.  Hari minggu selalu istimewa tentang kebersihan.
Aku berangkat jam tiga ke taman kota, West-brook. Karena kita akan bertemu tepat jam empat. Aku cukup bersemangat akan hal ini, karena sudah lama juga tidak pergi ke taman itu. Ini bukan taman di daerah ku Kalasey, ini lebih besar dan ramai tentunya. Pemerintah katanya baru membangun semacam fountain baru. Penasaran ingin melihatnya,  dan  juga penasaran  ingin melihat Johan.
Perjalanan dari Kalasey ke West-Brook  menggunakan bus cukup singkat, hanya 30 menit. Aku turun di halte tepat berseberangan dengan taman. Aku bahkan sudah bisa merasakan atmosphere sejuk nya saat turun dari bus. Pohon – pohon rindang di taman, memang seperti oase ditengah kota. Memberikan suplai oksigen ke berbagai penjuru kota. Adalah  ide bagus menurut ku datang lebih awal, menikmati udara segar disini sendiri, kemudian mencari tempat duduk.
Memang meski sudah masuk musim gugur, udara masih relatif hangat. Tapi kadang-kadang kau tidak bisa berlama-lama diluar jika suhu turun drastis. Kali ini cuaca sedang cerah, aku bisa melihat kejernihan dilangit, tak ada gumpalan awan. Aku mendapatkan tempat duduk semacam bangku taman di bawah pohon. Setengah jam kemudian Johan tiba.
Hari ini, dipertemuan  kedua kami, dia terlihat sangat berbeda, aku bisa tau bahwa dia baru saja mencukur rambutnya. Kami pun larut dalam  percakapan  hingga lupa hari semakin sore, dan matahari sebentar lagi menghilang di ufuk barat.
Namun sesuatu yang ku tunggu belum juga disampaikan, aku yang tidak mau segera menutup pertemuan ini pun mulai memuaskan rasa penasaran ku akan perkataan Johan kemarin.
“Johan, bukan nya kemarin kau bilang ada yang ingin dibicarakan dengan ku? Apa itu?” ucapku sambil menatap ke arah depan kami.
Dari sisi ku, aku bisa melihat siluet pepohonan, matahari  yang perlahan memasuki  singgahsana nya dan mulai merubah susunan warna di langit sekitar, dari tempat kami,aku  bisa dilihat bagaimana langit berganti warna, momen ini biasa di sebut “sunset”. Semuanya terasa menjadi melambat, aku bisa memandang lebih lama langit kekuningan itu, rasanya menentramkan dan tenang.
Setelah terdiam cukup lama, ku palingkan wajah ke Johan. Dengan cahaya yang semakin berkurang, aku bisa melihat nya menyembunyikan wajah dibalik bayang. Sebelum akhirnya mengangkat wajah, dan meraih kedua tanganku.
Situasi seperti ini, ketika tangan mu digenggam oleh seseorang yang membawa kesan baik bagi mu, ditempat yang sejuk ini, dan kau tau bahwa ini membuat jantung mu berdetak lebih cepat dari biasanya, adrenalin mu memuncak saat itu juga. Ditambah fakta bahwa aku belum prnah diperlakukan demikian.
Kami saling bertatapan, aku bisa melihat senyum tersamar di wajahnya, mata birunya, bahkan rahangnya yang bergemeretak.
“Jean..” katanya dengan sangat lembut  “aku tidak tau apa yang membuat ku menjadi sedikit aneh belakangan ini, aku tidak bisa jatuh tertidur dimalam hari dengan mudah sebelum mendapat salam tidur dari mu, dan jujur aku belum memahaminya sampai kemarin malam.”
Aku memandanginya serius, namun mulut ku tertahan, tidak mau  mengganggu setiap kata-kata yang mungkin keluar selanjutnya. Begitu pun mulutnya yang seperti tertahan, aku bisa merasakan dia lebih gelisah dari sebelumnya. Selanjutnya dia memalingkan  wajah  ke sisi tubuhnya, kemudian menatap ku lagi, memalingkan wajah, dan  menatap ku lagi dalam dan menghela napas meyakinkan.
“Aku jatuh cinta padamu Jean.” Katanya memecah  kesunyian.

-

Bagi ku cinta, cinta adalah sesuatu yang bisa ku rasakan ketika Mama membuatkan sarapan, menyeduh teh hangat untukku, memelukku ketika teman-teman sedikit menyakitkan, ketika Ayah memeluk ku karena mendapat nilai bagus, ketika Jesica dan Anne mencium ku tanpa alasan tepat, ketika Cleo merangkak kepangkuan ku dan memanja. Perasaan-perasaan yang muncul bisa menimbulkan gejolak bahagia, dan kenyamanan bagiku. Selama ini aku menikmati segala bentuk cinta mereka, aku sangat bahagia, dan seiring waktu juga aku menyadari bahwa antara seorang wanita dan pria, antara Ayah dan Mama terdapat perasaan yang lebih besar dan menyatu, bukan cinta akan masakan atau  berada dipelukan, maupun ketika mendapat ciuman, tapi lebih dari itu. Aku merasakan ada gejolak emosi yang saling menyatu diantara mereka, yang hanya bisa dirasakan sesungguhnya oleh mereka, namun terlihat oleh pandangan orang lain. Ada rasa sayang diantara mereka, ada cinta diantara mereka, diantara Pria dan Wanita. Itulah yang ku ketahui dari Mama dan Ayah.
Aku sering mempertanyakan pertanyaan seperti “Apa itu benar adanya? Perasaan itu? Lalu bagaimana rasanya?” tanpa pernah mencoba membuktikannya atau dibuktikan.
Namun mungkin saja itu semua memang benar dan ada. Seperti saat aku bisa tersenyum  melihat Jesica dan Jason berduaan, ketika wajah Anne berubah merah merona berbicara dengan yang disebutnya “pacar”. Aku bisa merasakannya, aku bisa melihatnya.  Tapi, aku belum berani kea rah tersebut. Bagiku, cinta yang terjadi antara Gadis dan Pria muda berbeda, masih rentan, bahkan membawa kemungkinan buruk.
Tapi aku juga tidak membohongi nya, aku tidak bisa berbohong pada diri sendiri. Bagaimana cara ku memikirkan Johan belakangan ini, bagaimana cara ku memandang mata biru nya, bagaimana jantung ku berdetak cepat ketika dia memberikan salam tidur, dan bagaimana saat ini, ketika tanganku di genggam nya lembut. Yang kurasakan hanyalah bahagia, perhatian ku hanya tertuju ke satu arah, dan aku tidak ingin ini segera berakhir.
Selanjutnya, sesuai bayangan mu, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Aku terkejut sekaligus bahagia. Sore itu kami berpisah dengan satu pertanyaan menggantung, dan butuh waktu bagiku untuk menjawab nya.
Johan Saputra, laki-lakiyang baru akrab dengan ku belakangan ini, penggemar tulisan di blog ku, yang tak pernah absen chatting dengan ku, yang bertemu hanya sebanyak dua kali, hari ini menyampaikan perasaannya terhadapku?
Apa ada yang lebih luar biasa?


-

Malam itu aku tak bisa tidur, meski sudah memaksakan, tapi satu jam, dua jam, tiga jam kemudian tetap mata ku tak bisa tertutup. Entah kutukan apa namanya ini.
Yang kupikirkan adalah bagaimana menghadapi kenyataan besok pagi, kenyataan bahwa teman baru ku mencintai ku, kenyataaan bahwa perhatiannya selama ini ada maksud lain, kenyataan bahwa kami tidak akan merasakan hal yang biasa lagi  antara satu sama lain.
Aku habiskan malam itu dengan membaca beberapa artikel, sampai mata ku rasanya sudah bengkak, dan terlelap tak sadarkan diri.

-

Hari – hari selanjutnya berjalan dengan berat bagiku, hari selasa seluruh murid senior memulai Ujian Akhir. Sikap Jesica  juga Anne tiba-tiba jadi lebih ramah dan lembut dari biasanya,  dan aku tau penyebabnya, sebenarnya hal semacam ini sering terjadi bila musim Ujian sudah tiba dan aku tidak bisa berpura-pura tuli selama ujian akan mereka berdua. Setidaknya mereka yang selalu mendukungku. Tentang yang terjadi antara aku dan Johan, aku  tidak pernah menceritakannya pada mereka, aku masih ragu untuk mengatakannya.
Sandro tidak pernah datang lagi ke kelas kami, mungkin karena dia juga terperangkap ujian ini, atau ada urusan dengan gadis-gadis lain?
Kami melewati ujian dengan lumayan lancar, meski terdapat beberapa tradisi menyontek, tapi guru-guru kami kurang sigap dan peka atau mereka membiarkan mereka. Dan beban di otakku berangsur-angsur berkurang.
Ujian berlangsung selam empat hari, dan setelah selesai, kami bisa pulang ke rumah  dan tidak kembali ke kelas sampai hari pengumuman atau pengambilan raport tiba, sekitar dua minggu setelahnya.

-

Selama ku hidup, ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang menyatakan cinta nya terhdap ku, secara terang-terangan. Dan aku tidak tau harus bereaksi bagaimana juga. Namun, keraguan-keraguan ku selama ini, prasangka- prasangka tentang Johan selam ini akhirnya terjawab, bahwa dia  benar-benar menaruh perasaan terhadap ku lebih dari seorang teman biasa.
Tapi, apakah itu yang dinamakan cinta?
Melihat semua kenyataan ini, sudah sepatutnya aku  kehilangan akal sehat. Namun rasa penasaran ku ternyata tak pernah  padam. Apakah ini kesempatan itu? Kesempatan merasakan sebuah Cinta dari seorang pria muda?
Lantas apakah aku juga merasakan yang sama terhadap Johan?
Jawabannya bisa ditebak, aku belum yakin!
Meskipun tidak ada keraguan bahwa aku  menyukai perangainnya yang lembut, cukup menjengkelkan, dan sejujurnya lebih bijak dari perkiraan ku. Namun, apakah itu semua sudah cukup?
Aku menghabiskan waktu lebih banyak masih di sekitar rumah, bersama Mama, Ayah dan Cleo. Aku rasa tidak ada yang lebih baik lagi.
Aku tidak mendapat pesan dari siapapun beberapa hari itu.
Dan kebosanan ku kutuangkan dengan tulisan-tulisan di Blog, beberapa hal-hal menarik yang patut di bicarakan sering ku tulis. Tapi, ada yang kurang rasanya. Teman baru ku, penggemar tulisan ku, si makhluk bermata biru itu bahkan tidak ada kabar sama sekali.
Rasa ketidak nyaman seringkali muncul beberapa hari terakhir, ketika tidak ada salam tidur dilayar ponselku. Dan Cleo sepertinya tau kalau aku sedang kesepian, sehingga sekarang tiap malam dia masuk ke kamar ku untuk tidur di samping keranjang pakaian kotor ku. Aku memperhatikannya sampai mata ku lelah sendiri dan tertidur.
Suatu malam, ponsel ku menerima sebuah pesan singkat dari orang itu.
Pesan itu berisi:
Hay, Jean.
Maaf mengganggu mu,aku hanya ingin memastikan apakah kau baik-baik saja?
Sudah seminggu lebih kita tidak saling mengabari, aku sedikit kurang nyaman.
Tentang hal yang ku sampaikan di taman, aku minta maaf jika itu membuat mu terkejut, tapi memang itulah yang kurasakan terhadap mu. Dan aku tidak memaksakan mu (:
Aku harap kita bisa bertemu secepatnya,
Have a great night..

Aku tidak bisa menyebunyikan rasa bahagia ku malam itu. Berkeliling kamar dengan sesekali melantunkan lirik Fearless, aku benar-benar jadi makhluk aneh malam itu.
Dan karena tidak tahan, aku membalas pesan itu,
Hay juga, tidak perlu minta maaf Johan, karena kau tidak melakukanapa-apa yg buruk terhadap ku.
Malah senang rasanya bisa mendapat pesan dari mu.
Aku baik-baik saja,  hanya sedikit bosan. Dan kamu?
Iya, aku juga berharap begitu..


-

Keesokan harinya kami bertemu, di tempat yang sama, di taman West-brook.
Suasana sudah berbeda, aku bisa mersasakan keistimewaan  dalam dirinya, semilir angin di siang hari membuat kegundahan  hati ikut terbawa, tergantikan  oleh kebahagiaan. Tatapan nya tajam seperti mengatakan segalanya, bahkan tanpa kita mengeluarkan sepatah katapun. Suasana menjadi lebih hangat.
Dan pada suatu  titik, aku bisa menyatakan semuanya dengan lebih teratur.
Bisa dibilang, sore itu, kita resmi jadi sepasang kekasih.
Dan hari – hari selanjutnya pun, semakin penuh kejutan.


-


Aku tidak pernah membayangkan akan hari – hari seperti pergi menghabiskan waktu di tepi kolam untuk menghabiskan makan siang, menonton bioskop, keluar ke kota sampai cukup larut, menikmati sunset dari bukit, melempor koin kolam harapan, menyusuri sudut kota menggunakan sepeda motor, semuanya bersam seorang yang ku sebut kekasih.
Johan bahkan pergi ke rumah untuk menjemputku, dan anehnya Mama tidak terlalu menaruh prhatian kepadanya.
Kami benar-benar tenggelam dalam dunia yang penuh kebahagiaan, dan dunia terasa berseru, bersorak mendukung setiap langkah kami bersama. Kami juga membicarakan hal-hal yang kami sukai satu sama lain, menceritakan cita-cita dan harapan kami, meski terdengar aneh, tapi kami bahkan sudah memikirkan sampai ke arah yang lebih jauh.
“Jean, hari-hari ku tak pernah sebaik ini.”
“sungguh bersyukur bisa mendapatkan mu Sweety.”
Rasanya hidup ku lebih sempurna!


-


Suatu malam, Mama dan Ayah berbicara dengan ku,  tentang kelanjutan studi.
“Sayang, kau tau Ayah berharap kamu bisa masuk di UNC, dan mengambil jurusan ekonomi,” kata ayah sambil memberikan ku selembar brosur.
Brosur itu adalah info mengenai Universitas.
Mama kemudian ikut berkomentar dan memberi usulan.
“universitas di daerah sudah cukup baik kualitasnya Jean, bahkan untuk jurusan Business tidak kalah dengan jurusan diuniversitas di ibu kota negara.”
Sebenarnya aku ingin mengambil jurusan Ilmu Budaya, atau tepatnya sastra. Gagasan untuk mengambil jurusan ekonomi cukup membuat ku resah. Namun, adakalanya aku  harus bisa mendengarkan nasehat kedua orangtua ku.
Dua hari lagi pengumuman kelulusan, dan setelah itu jika dinyatakan lulus, kami benar-benar sudah ditendang keluar sekolah dan harus bisa menentukan jalan masing-masing.
Tapi, bagaiman dengan Johan?
Apa dia akan masuk universitas? Aku harap begitu, sekalian saja satu kampus dengan ku.
Bagiku, kuliah adalah penting adanya, aku hanya tidak tertarik menjadi seorang pekerja diusia yang masih sangat muda, aku masih butuh ruang kelas, seorang guru,  dan buku- buku untuk belajar.
Mungkin saja Johan akan mengambil kuliah, aku akan memastikannya nanti. Lucunya, Kami belum pernah membahas tentang ini.


-


Pada hari pengumuman, kami siswa senior dinyatakan  lulus, seratus persen.
Hari itu adalah pesta besar bagi seluaruh  murid senior, tak terkecuali murid SiBu.
Kami menghabiskan sore hari dengan pergi ke pantai, mencoret-coret seragam  kebanggaan kami, dan mengambil beberapa gambar diri kami dari berbagai sudut. Sungguh menyenangkan memang. Hal semacam ini sudah lumrah dan seperti jadi bagian budaya.
Johan selalu berada tidak jauh dari ku, meskipun dia tidak terlalu menonjol. Kami sudah berjanji untuk tidak memperlihatkan lebih kepada teman-teman. Sedangkan Jesica dan Anne hanya mengangapnya sebagai teman biasa.
Pada suatu  kesempatan, aku dan Johan pergi melarikan diri dari keramaian. Ingin menikmati waktu hanya berdua.
“aku belum tau Sweety, mungkin belum akan kuliah.” Jawab Johan.
“belum tau?”
“iya, aku belum yakin dengan kuliah. Sepertinya aku akan fokus di dance.’’
Malam itu berakhir dengan rasa lelah yang amat sangat. Jesica dan Anne memeluk ku sebelum berpisah, mengatakan bahwa mereka akan selalu dengan ku. Atau  itu artinya kuliah dengan ku?


-


Setelah itu, hari—hari selanjutnya tidak ada yang spesial. Aku hanya berada dirumah mempertimbangkan pilihan ku dalam mengambil jurusan. Tak ada pesan singkat, atau telepon.
Yang aku  tau Johan sedang sibuk dengan latihannya yang semakin hari semakin intense sejak masa ujian sekolah. Dia pernah bilang kalau ada kejuaraan dalam waktu dekat ini, dan tim mereka sedang dipersiapkan. Aku tidak terlalu suka dance, tapi cukup betah melihat gerakan lincah dari dancer.
Aku merasa dance sama dengan olahraga berat, yang memerlukan koordinasi dan stamina kuat.
Belakangan, ketika aku sudah mulai mengikuti kegiatan orientasi dikampus UNC, Johan hanya sesekali mengirim pesan, yaitu pada saat pagi hari dan malam sebelum dia tidur. Kadang juga dia lupa sama sekali.
Aku mulai cemas akan hal itu. Dan ingin mengetahui keadaan nya lebih dekat.
Suatu hari aku bertemu dengan Jesica, kami makan siang sama-sama dan sempat mengelilingi kampus sekitar sejam. Dia mengmbil jurusan kesehatan masyarakat, sedangkan katanya Anne mengambil jurusan Pertanian. Aku sendiri mengambil jurusan Ilmu Budaya. Setidaknya kami bertiga masih berada di kampus yang sama.
Tindakan ku memang cukup berani, tapi itulah pilihan ku. Dan aku rasa kedua orang tua ku berangsur-angsur akan tenang.
Jesica sempat bercerita tentang perjalanannya ke Southern-Rock. Melihat pemandangan tepi pantai yang indah, tempat itu menurutnya adalah yang tebaik untuk urusan pantai, dan memang begitulah apa yang selama ini kudengar dari Mama. Namun, sayangnya aku belum pernah kesana.
Apa yang membuat ku terkejut sebenarnya bukan cerita tentang pantai atau burung-burung camar nya yang mencuri makanan, tapi apa yang Jesica lihat disana, di tapian pantai. Dia melihat Johan sedang berlibur juga disana bersama beberapa orang teman, dan menurutnya ada beberapa gadis juga yang ikut.
“Aku tidak cukup berani untuk mendekat Jean, karena rasanya aku belum terlalu dekat dengan teman baru mu itu.”
“tapi dia terlihat cukup baik. Aku suka gayanya Jean” lajut Jesica sambil tertawa.

Johan?? Berlibur? Sejak  kapan? Bukannnya dia sedang giat latihan?
Lalu jika memang benar dia berlibur, mengapa dia tidak mengabari ku? Apa beberapa kata cukup sulit untuk diketiknya ?
Muka ku cukup muram  saat itu, sehingga memaksa Jesica melontarkan beberapa pertanyaan. Tapi aku berusaha untuk tetap mengunci rapat-rapat hubungan ku dengan Johan. Apa jadinya jika Jesica tau? Dan pasti seperti ku juga, kejanggalan akan timbul di pikirannya yang mau tidak mau dia juga pasti akan mencari tau seluk beluknya. Aku belum mau  mengatakannya sekarang.
Malam itu, aku beranikan diri untuk bertanya pada Johan, segala yang ku tidak pahami.
Beberapa jam kemudian baru balasan nya muncul.
“Maaf kan aku Sweety, iya memang aku pergi ke Southern-Rock hari itu,”
“kami sedang mengadakan latihan sebenarnya, dan menurut pelatih, tempat disana cukup bagus.”
“mengapa tidak mengabari ku?”
“karena ku pikir ini bukan hal yang harus di besar-besar, apa benar?”
“aku kekasih mu, dan jika kau tidak bisa mengabari ku keadaan mu, apa yang bisa membuat ku tenang?”
“aku butuh kabar mu Johan, tidak ada alasan lain lagi.”
Kami kemudian menyudahi malam itu dengan percakapan lewat telepon dan beristirahat.


-


Beberapa hari kemudian, ketika perkuliahan  sudah mulai, aku merasa cukup kesepian meski ada sekitar seratus-an orang di dalam rungan kelas dan ratusan lagi setiap kali aku berjalan di areal kampus.
“kamu dimana? Bisa kah kita bertemu?” aku  mengirim johan pesan singkat.
“aku bisa nanti lusa, karena team kami tidak ingin kekurangan anggota dalam beberapa latihan ini.” Balasnya.


-


Kami bertemu dua hari kemudian di sebuah café. Memulai percakapan dengan cukup penasaran, aku bertanya apa saja yangselama ini menghantui ku.
Kemudian dia balik menanyai kehidupan  baru  ku sebagai mahasiswa, “cukup menarik.” Jawabku.
“apa benar kau pergi ke Southern-rock dengan beberapa gadis?” tanya ku kali ini tak tahan.
“iya, mereka anggota tim wanita.”
“lalu, apa yang kalian lakukan setelah latihan? Apa langsung pulang? pasti tidak.”
“kami berjalan ditepi pantai sebentar dan kembali ke West-brook ketika malam tyiba.”
“kamu tidak berbohong kan?” tanya ku lagi sambil menatapnya sinis.
“haruskah ku berbohong? Tidak ada gunanya kan.”
Hari itu kami berdua pergi ke beberapa tempat ramai, bisa dibilang tempat untuk berkencan. Namun, Johan sepertinya kurang senang ketika aku terus-terusan menanyai nya tentang teman-teman gadisnya.


-


Mungkin sudah  saatnya bagiku untuk lebih terbuka. Lagipula mereka teman dekatku, tak ada yang akan membuat ku terlihat konyol, iya kan?. Akhirnya aku  menceritakan segala hubungan ku dengan Johan selama ini kepada mereka berdua, Jesica dan Anne. Bahkan aku  menunjukan beberapa foto ku bersama Johan, dan pesan singkat untuk meyakinkan mereka. Reaksi mereka tak tertahankan, wajah ku beberapa kali jadi korban cubitan, ciuman  mereka berdua, Anne tak percaya sepenuhnya hingga harus mengkonfirmasikannya kepada ku beberapa kali. Dan kemudian sisa hari itu aku hanya di goda oleh mereka sampai rasanya ingin menyingkir dari hadapan mereka selamanya.

-


Untuk tetap dalam kontrol ku, setiap beberapa jam aku selalu menelpon Johan. Menanyakan keadaannya dan lain-lain.
Beberapa panggilan berikut sudah tidak diangkatnya lagi. Dan amarah mulai merasuki ku.
Ku putuskan untuk tidak menelpon atau mengirim pesan singkat seharian esok hari, bahkan kalau dia menelpon, aku takkan mengangkatnya dan melempar ponsel ku ke keranjang.
Apa maksudnya tidak mengangkat telepon ku? Sesibuk itukah latihannya?
Pemerontakan ku semakin didukung oleh pihak lawan yang sepertinya juga tidak memedulikan nya.



-


Aku menyayanginya, aku butuh kabarnya, aku benci teman-teman gadisnya, aku ingin dia memperhatikanku walau hanya beberapa waktu. Apa dia membenci ku?
“Johan, aku tidak menyangka kau bisa berbuat begini!” isi pesanku yang ku kirim tadi belum juga dibalasnya.
tapi kemudian  ponsel ku berdering, itu telpon darinya.
“halo, Jean?”
Aku tidak menjawab nya, hanya berusaha memperdengarkan nafas ku.
“apa kau baik-baik saja?”
“maaf kan aku karena baru sekarang free.
Tiba tiba kata-kataku  keluar otomatis dalam satu tarikan nafas, tak terkendali
“kamu sudah tidak peduli padaku!”
“kamu lebih mementingkan latihan dan teman-teman gadis mu!”
“apa kau sudah termakan rayuan mereka?”
“Aku benci kamu Johan!”
Terdiam sejenak, kemudian suaranya dari seberang merespon, kali ini terdengar berat.
“Jean, pertama, aku  memang sibuk latihan, dua hari lagi aku akan  bertanding di teen-center, dan aku sudah membeli dua tiket, aku pikir satu untuk mu, kedua, aku  tidak ada hubungan apa-apa dengan  teman – teman ku disini, mereka hanya teman latihan, dan ketiga, bisakah kau menjadi Jean yang kukenal dulu? Penulis pintar di Blog yang  bisa membuat ku takjub? Bisakah kau  menjadi Jean yang ceria dan tetap cerdas?”
Aku terdiam beberapa saat, tanpa sadar air mata sudah mengalir turun membasahi pipi ku, dan kemudian aku  memutus sambungan telpon nya.
Aku sudah kehilangan diri ku sendiri.  BS.

The End
This story was began on Monday, ‎June ‎20, ‎2016, ‏‎5:58:52 PM and finished on Sunday, July 03, 2016, 10:44 PM. This is the first short-story I have ever written.

No comments:

Post a Comment