First Affection
“Cinta dalam kesalahan selalu buta,
selalu membahagiakan, tak terikat oleh peraturan, bersayap, dan tak terbatas,
serta menembus semua rantai – rantai pemikiran.” – Shakespeare.
Dua hari sudah setelah
percakapan di telpon malam itu, dan
setelah turun dari sepeda motor, sekarang kami berjalan bersama ke gedung teen-center.
Hari ini aku akan menonton tournament dance terbesar di West-Brook, dan sekaligus memberi dukungan kepada sahabat ku yang satu ini. Dia adalah salah satu
kontestan yang akan tampil hari ini.
Kami berjalan berdampingan layaknya sahabat yang sudah saling mengenal
baik selama bertahun-tahun. Sesekali laki-laki bermata biru itu menarik-narik
ujung rambut ku yang terurai. Namun, mungkin kalian akan terkejut mengetahui kehidupan kami sebelumnya, bahkan tidak sampai bertahun
– tahun, aku cukup heran bisa bertemu dengannya. Hati ku terasa jernih hari
ini. Kupandang sekilas wajahnya dari samping, senyum bahagia tergantung di wajahnya. Aku rasa
memang hari ini adalah hari baik bagi
dia maupun aku.
Langit biru tanpa
segumpal awan menambah kecerahan hari ini, dengan udara musim gugurnya, sesekali aku tersenyum diterpa
angin semilir. Memikirkan betapa anehnya
hidup ini, betapa cepatnya semua berubah.. Dan menebak apakah laki-laki disampingku ini juga
berpikiran yang sama? memang
memikirkannya saja sudah lucu, minggu-minggu yang singkat itu, haruslah
diingat selalu, menganggap semua nya sebagai memori penting, walaupun akhirnya,
aku menemukan kembali diri ku yang sebenarnya, dan sungguh, itu sudah cukup bagiku.
-
Langkah kaki ku
santai namun berat. Kuperhatikan kedua
kaki ku melangkah, di atas jalan berbatu ini, kedua tanganku berada di bagian depan kantong jaket. Aku memperhatikan sekeliling,
daun musim gugur mulai berjatuhan. Begitu pun angin yang menderu disela-sela ranting pepohonan,
menghasilkkan suara yang bagiku terdengar sederhana namun merdu, terasa tentram.
Setidaknya aku punya
cara sendiri untuk menghilangkan penat
dikepala, dan sedikit membuatnya segar.
Langkah ku terhenti
ketika tiba-tiba melihat sepasang muda-mudi sedang duduk di kursi taman. Sang
lelaki merangkul gadis itu, dan dari
wajah mereka, jelas lah terlihat kebahagiaan, tersenyum bahkan tertawa
tanpa seorang pun tau penyebabnya kecuali mereka. Mereka terlihat intim, cukup
untuk membuat ku membuang muka. Aku kembali melanjutkan jalan-jalan ku.
Sore ini aku senang
bisa keluar dari rumah untuk menghirup udara segar dan menyapa dunia luar,
dalam harapan akan menikmati kesendirian dan ketentraman, namun apa yang ku
lihat barusan sedikit mengganggu ku.
Beberapa minggu
terakhir, pikiran ku terperangkap oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Pada malam
ulang tahun ku yang ke tujuh belas. Aku bahkan merasa teman-teman ku sudah
bersekongkol untuk memojokkanku. Pertanyaan mereka identik
“Jean, Kapan kamu punya
cowok?”
“Belum mau pacaran kamu? Sudah tujuh belas tahun loh,
heran aku.”
“mau aku carikan pacar
jean?”
-
Pacar, lelaki, cowok
atau apalah itu, ide yang belum ku setujui
untuk ditindak lanjuti.
Merasuk dipikiranku,
seperti menahan suara ku belakangan ini. Memang orang-orang kerap bilang tujuh
belas tahun, atau usia peralihan seperti
ini adalah masa untuk seseorang mencari jatidiri, tak terkecuali mencoba dan
merasakan apa itu cinta. Tapi aku? Aku yang sejak kecil, diajarkan untuk fokus
belajar dan belajar, tak sempat memikirkan hal semacam itu.
Sampai sekarang aku masih selalu mengingat perkataan mama
“Sekolah dulu, baru
pacaran. Pacaran itu cuma buang-buang
waktu, tidak ada manfaat untuk kamu yang masih remaja”
Keheranan teman-teman
ku akan hal ini juga bukan sekedar karena usia ku yang sudah layak, namun karena kepribadianku. Aku adalah
murid disalah satu SMA Negeri di West-brook.
Dan sekarang sudah kelas senior, bulan depan
ujian akhir. Aku dikenal sebagai murid yang pintar dan rajin, tentu
dalam hal akademik, dan juga karena keaktifan ku dikelas, maka teman-teman
mempercayakan ku menjabat ketua kelas mereka. Semenjak kelas junior, aku selalu
mendapat peringkat tiga besar di dalam kelas. Dan sering mewakili sekolah untuk
mengikuti lomba ilmiah. Semua guru mengenal diriku, Jean Audrey. Meski bisa
saja akan menjadi satu – satunya gadis tanpa pasangan di malam perpisahan nanti, tapi aku tidak bisa
dianggap tak punya teman, semua murid senior juga mengenal ku, hal itu wajar karena prestasi ku disekolah.
Teman-teman ku sudah
sering mendorong ku untuk melakukan hal
yang belum pernah ku lakukan selama ini, Pacaran.
Karena pikiran ku
tambah kacau, aku tak sempat singgah duduk di bangku taman. Aku kembali
berjalan pulang, kali ini langkah ku cepat, dan terarah.
Sudah pukul enam ketika aku sampai dirumah, orangtua ku belum
ada dirumah, jadi tak ada salam atau semacamnya aku langsung masuk.
Kulepaskan jaket, dan
sepatu canvas ku, dan membanting tubuh ke kasur.
Wajah ku agak panas
dicuaca dingin seperti ini, ku tempelkan kedua tanganku diwajah untuk
merasakannya.
Apa
yang harus kulakukan?
Bukankah
pacaran itu hal konyol?
Aku
sudah melihat Jessica beberapa kali menangis tidak jelas gara-gara seorang pria
tidak membalas pesannya.
Begitu
pula Anne, bahkan aku pikir dia sudah tidak waras, yang rela meninggalkan ku di
stasiun sendirian demi seorang laki-laki yang baru dikenalnya selama 2 hari.
Kubalikkan tubuhku,
sambil tengkurap. Ini adalah posisi favoritku. Rasanya seperti bersembunyi dari
terror dunia. Semakin lama perasaan ku semakin tidak terkendali,
pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul, menahan setiap hembusan nafasku,
seperti tercekik.
“Aku tidak bisa” aku
berkata pada diri sendiri sambil bangkit,
“ini gila.”
Aku menanggalkan semua
pakaian yang membalut tubuhku, dan masuk ke kamar mandi.
Berada dibawah air
hangat akan meringankan ketegangan ini, pikirku.
Setelah mandi, aku
duduk di depan komputerku. Menatap lekat-lekat wallpapernya. Foto-foto ku saat
masih bayi silih berganti memenuhi layar itu. Betapa polosnya nya aku waktu
itu, betapa indahnya dunia waktu itu, tak ada orang-orang yang menekan mu untuk
pacaran!
Cleo masuk kekamar ku diam-diam dan naik ke pangkuanku, kucing
ini sebenarnya manis, namun sering membuat kekacauan jika melihat bayangan
cicak. Tapi aku pikir dia kucing yang pemberani dan bisa mengerti perasaan ku,
kadang-kadang. Bulu nya seputih kapas, namun tidak begitu kelakuannya, pernah
suatu kali tetangga kami datang mengomel karena anjing mereka si Rambo dicakar
Cleo sampai meringgis. Jika mengingat peristiwa itu, aku sering menjaga jarak
dengan Cleo.
Kembali ku yakinkan
diriku untuk melupakan hal-hal tak berguna tentang orang-orang. Mencoba fokkus
ke materi bacaan, dan berbahagia. Tetap bahagia.
Keesokan paginya saat
dikelas, saat jam pelajaran belum diisi
oleh guru, Anne tiba-tiba menarik ku ke luar kelas, mungkin karena di dalam
terlalu banyak orang dan ribut.
“Jean ku, ya Tuhan! Ada
yang harus kamu tau.”
“Ada apa ?” aku menyergah
“Kamu tau Sandro?
Sandro wijaya yang kelas senior”
“yang anggota tim
Basket itu kan? Kenapa dia?”
“Jean sayang, tadi pagi
dia sempat ngobrol denganku. Dan kamu tau apa yang dia tanyakan selam
pembicaraan?”
Aku menggeleng kan
kepala, bingung.
“dia menanyakan tentang
kamu Jean! Dia menanyakan segala hal tentang kamu.”
“dan apa kamu sudah
menerima pesan darinya? Karena tadi aku sudah memberikan nomor ponsel mu”
Anne terlihat sangat
senang, dia trus saja meremas pergelangan tanganku sampai rasnya darah ku
tersumbat.
“hah? Ya astaga.”
Telinga ku panas, dan
aku aku memandang lekat-lekat wajah
Anne. Dia seperti berkata jujur.
Ini
benar-benar konyol! Pikirku.
Ada beberapa alas an
membuat ku heran saat itu, pertama, aku tidak
pernah berbicara dengan si Sandro bahkan bertatapan pun jarang. Kedua, mengapa dia ingin mengetahui segala
macam tentang diriku? Ketiga, dan untuk yang satu ini, aku semakin yakin akan
ketidak warasan Anne dengan memberikan nomor ponsel ku secara illegal.
“tidak usah pedulikan
orang seperti mereka, aku tidak tertarik.” Kataku.
Aku tidak mau
meneruskan pembahasan itu dan segera meninggalkan Anne sendiri.
Sepanjang kelas, aku
tidak bisa konsentrasi. Meskipun tidak seharusnya ku pedulikan, tapi jika yang
dikatakan Anne benar, aku tidak tau bagaimana akan keluar sekolah tanpa
terlihat oleh Sandro.
Bel sekolah
berbunyi,pertanda jam pelajaran sudah berakhir. Dan aku, iya aku, segera
mengikuti kerumunan siswa yang mengarah ke gerbang sekolah. Aku pergi tanpa
pamitan dengan teman-teman. Aku pikir mereka akan baik-baik saja.
Aku melangkah sedikit cepat, tanpa memperhatikan
sekeliling, hanya lurus kedepan. Tidak ada orang yang mengikuti ku, atau
memanggilku. Semuanya terkendali.
Sampai dirumah aku langsung membuka komputer dan mulai
mengecek email.
Tak ada pesan baru,
hanya pemberitahuan di social media.
Dan beberapa komentar pengunjung di Blog.
Oh Ya! Blog ku. Sudah
seminggu lebih aku tidak melihatnya.
Aku memang seorang Blogger.
Sebenarnya bukan bermaksud jadi Blogger sungguhan. Namun dulu guru Ilmu Sosial
ku menyuruh kami membuat tugas dan dimasukkan ke dalam Blog pribadi. Semenjak
saat itu, aku jadi ketagihan membuat
artikel dan membalas komentar-komentar pembaca.
“Wah
artikel yang keren, terima kasih Min karena informas ini sangat bermanfaat
buatku. Oh ya Min, aku lihat di profil, sekolah di SMA Negeri West-Brook? Boleh
tau kelas apa? Hehehe soalnya aku juga murid disitu”
Komentar itu, baru kali
ini ada murid sekolah ku yang meninggalkan komentar. Dan pastinya yang satu ini bukan
dari anak IPS. Tidak mungkin, karena anak IPS semuanya mengenaliku. Akun itu
menggunakan Unknown. Dia ingin
bertanya informasi tentangku, sedangkan dia sendiri tidak mau menunjukan nama asli. Dasar orang aneh.
Aku pun membalas :
“follow
akun ku di twitter ya @JeanAudrey nanti ngobrol disitu”
Yap, aku sudah tidak
tau mau balas apa lagi, dan menurutku di twitter lebih aman dari pada di Blog.
-
Selama ini, chatting
dengan seorang cowok, adalah hal yang mengaktifkan sisi aneh dalam diriku.
Entah karena hal itu jarang ku lakukan atau sesuatu hal lain yang datang dari
dalam diriku. Aku akan mulai memikikirkan tentang si orang yang berada di seberang
sana mengetik untukku, bukan memikirkan tentang tulisannya, tapi bagaimana
ekspresinya, bagaimana emosi nya, dan cara pandangnya tentang balasan ku,
semuanya memang aneh, tapi itulah yang terjadi ketika aku harus chatting dengan seorang laki-laki, teman
dekat maupun orang asing.
Dan ini juga yang
terjadi sekarang, ketika si pemilikn akun unknown
itu memulai pembicaraan ditwitter, dan ini terlalu cepat, apakah dia online
setiap saat sehingga bisa langsung melihat balasan di blog ku?
Dia mulai dengan:
@Johaneux:
“@JeanAudrey Hey min, aku yang komentar di blog. Dan aku pastinya menunggu
jawaban hehe”
Jawaban? Jawaban apa?
Oh iya, jawaban pertanyaan tadi, ayolah Jean!
@JeanAudrey:
“@Johaneux wew, apa kau online tiap saat? Oke, aku anak IPS, senior kelas 12.”
@Johaneux:
“haha sejujurnya aku online untuk ini. Oh, pantas aku tidak pernah dengar. Tapi
aku benar-benar tertarik dengan tulisan-tulisan mu. Mungkin aku harus lebih
sering ke *SiJau.”
*SiJau adalah singkatan
dari Sisi Hijau. Semua murid di sekolah kami tau itu. Sisi Hijau adalah julukan
untuk daerah gedung sekolah/kelas anak IPS. Sedangkan Sisi Biru (SiBu) untuk
anak IPA. Aneh bukan?
@JeanAudrey:
“terima kasih @Johaneux, tapi aku masih dalam pembelajaran juga untuk menulis,
oh ya seharusnya begitu.”
@Johaneux:
“@JeanAudrey dan mungkin bertemu dengan mu untuk membicarakan salah satu
tulisan mu bisa menarik (:”
Apa? Aku sudah banyak
mendapat email dari beberapa pengunjung Blog ku yang menyatakan bahwa mereka
ingin bertemu denganku untuk berbicara tentang hal – hal dalam tulisan ku. Sebenarnya yang kutulis cenderung
kepada fenomena – fenomena alam dan trend maupun masalah sosial yang ada. Meski
menurutku tulisan – tulisan itu masih
banyak kekurangannya, tapi aku tidak menyangka ada beberapa orang yang tertarik.
Dan mengenai email mereka, aku hanya akan membalas dengan alasan – alasan yang ku buat
agar tidak bertemu dengan mereka, meski dalam menulis terlihat ‘kuat’ tapi aku
tidak terbiasa berbincang dengan orang
asing.
Harus ku jawab apa kali
ini? Kebanyakan alas an ku adalah bannyaknya kegiatan disekolah yang harus ku
ikuti, dan semenjak yang bertanya kali ini sekolah di sekolah yang sama
denganku, dan tentunya dia tau bahwa minggu ini semua kegiatan ekstrakurikuler
di hentikan untuk persiapan ujian, dan fakta bahwa beberapa ekstrakurikuler
benar-benar sudah tidak aktif, hanya ada kelas paduan suara dan pramuka yang
diadakan hanya jika ada event. Aku tidak punya alasan untuk berbohong tentang
kegiatan sekolah.
hal terburuk akan
terjadi jika aku tidak bisa menghindar.
@JeanAudrey:
“apa kau kelas 12? Tidakkah bersiap-siap ujian? @Johaneux beberapa guru kami
sedang giat membuat kelas tambahan, ku harap kau paham”
Oke, aku sudah
terdengar cukup menghindar kali ini. Bahkan cenderung penolakan terhadap pertemuan
ini, memang benar.
Aku kejam, aku jahat,
aku sombong, apalagi hah?
@Johaneux:
“@JeanAdrey: ohh ya sayang sekali. iya aku kelas senior juga, aku mengerti (: ”
@Johaneux:
“@JeanAudrey: mungkinlain kali, tapi ku harap bisa berpapasan dengan mu di kantin
atau perpus? Haha ”
Well, boleh-boleh saja
selama aku bisa menyembunyikan diri sebaik mungkin.
@JeanAudrey:
“benar sekali, kecuali jika kau mengenal wajah ku hahaha”
Aku langsung menutup komputer
ku.
Ini gawat, tapi kenapa
gawat? kenapa harus takut ? dia tidak mungkin mengenal ku kan? Kami tidak akan bertemu dengan tidak
sengaja, tapi sejujurnya lebih baik begitu daripada harus bertemu karena sudah
direncanakan dahulu, aku tidak tau apa istilahnya itu. Lagipula jika memang aku
bertemu dengan dia, apa aku harus menyiapkan beberapa bahan obrolan? Tidak
mungkin. Pasti hanya basa-basi dan dia akan segera pergi menghilang. Iya, pasti.
Semuanya terasa aneh
bagiku karena ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang entah dari dunia
mana mengajak ku bertemu, meskipun hal ini tidak ada maksud apa-apa selain
tentang Blog ku, tapi aku merasa janggal, ada rasa malu, penasaran, takut dan
senang bercampur.
Berbaring di atas
kasur, aku membayang seperti apa rupa laki-laki tadi. Apakah dia benar-benar
serius akan membicarakan tentang tulisan ku? Apa dia baik hati? Atau mungkin saja
dia salah satu berandalan sekolah? Aku curiga dia Jesica atau Anne yang
menyamar, aku pernah mendengar Anne di buat tertipu oleh akun asing yang
mengajaknya jalan, tapi ternyata itu perbuatan Jesica yang iseng.
Khayalan segera
terhenti oleh kedatangan Mama di pintu kamar.
“Belum makan? Ada opor
ayam baru dimasak”
“oh iya Mum. Aku juga
baru mau ke dapur”
Dengan girang aku
berjalan ke dapur, perutku juga sudah tertipu oleh kesibukan ku memikirkan hal
tadi.
Mama,juru masa terbaik
milik keluarga kami. Lidahku selalu terpuaskan akan masakannya. Tidak
terkecuali kali ini. Opor ayam, kentang dengan saus kacang, ikan bakar,
semuanya ku keluarkan dari lemari. Ku
makan secara perlahan namun tak melewatkan setiap bagiannya.
Setelah makan, aku kembali
ke kamar, perutku sudah terlalu kenyang bahkan aku berjalan sedikit menonjolkon
bagian depan perutku, dan mengusapnya.
Malam itu setelah
membersihkan diri dan membacamateri pelajaran, aku tertidur.
-
Di sekolah kami siswa
senior seperti dikurung didalam kelas, guru-guru tak henti masuk dan memberikan
materi. tiga pelajaran berturut-turut tanpa
memberikan peluang bagi kami keluar menghirup udara. Beberapa murid
dengan cerdik bisa memberikan alas an untuk keluar kelas, kami istirahat
didalam kelas, makan pun dalam kelas. Sampai pelajaran ke lima, aku sudah kecapekan.
Wajah ku sudah tak karuan, ini namanya wajah ‘kesengsaraan murid senior’ dan
aku sudah tidak sabar menunjukkannya kepada orang tua ku, agar aku bisa
mendapat jatah tidur lebih panjang. Apakah jadi murid senior harus tersiksa
seperti ini?
Hari sudah sore
ketikakami akhrinya bisa keluar dan beristirahat dirumah. Tapi impian ku untuk
berguling di tempat tidur secepatnya terganggu oleh dua makhluk yang selalu
menguntitku.
Jesica dan Anne
mengajak ku pergi ke kantin, memaksa ku untuk jangan dulu pulang, alasan mereka
ingin membeli sesuatu dan bertemu seseorang, dan pasti itu laki-laki!
Jesica meyakinkan ku
untuk ikut, dengan sedikit merengek. Aku
tidak tahan dan akhirnya ikut.
Sampai disana, mereka
berdua harus antri mendapatkan minuman karena banyak murid juga yang berada disana. Sedangkan aku karena tidak suka minuman soda-asam disini,
hanya duduk di kursi berkaki tiga. Ku perhatikan kerumunan manusia dan,
ternyata murid-murid yang ada disini kebanyakan murid SiBu. Aku bisa melihat warna
biru dan huruf IPA di lambang kemeja mereka. Tidak ada yang ku kenal, memang
aku jarang ke SiBu atau bergaul dengan murid-muridnya. Kami memang seperti dua
kubu yang berbeda, dan tidak cukup harmonis.
Tunggu dulu, kalau
disini banyak murid SiBu, sedangkan posisi ku yang sangat jelas terlihat oleh
dunia duduk sendirian disini, apakah orang yang ditwitter itu ada juga disini?
Oh tidak, tidak mungkin.
Aku segera melirik ke Jesica dan Anne. Mereka membelakangi ku, sibuk mengantri.
Aku harus pergi dari sini secepatnya. Aku tidak mau sampai kecelakaan pertemuan
terjadi. Dengan rupa ku sekarang? Tidak akan!
Tapi bagaimana mungkin
mereka berdua akan membiarkan ku pergi?
Aku memandang ke segala
arah, meperhatikan jika ada manusia yang mencurigakan memandang kearah ku,
tidak ada. Dia tidak mungkin disini, dan mengapa juga aku harus mengkhawatirkan
ini?
Aku mengambil buku dan
mencoba membacanya, aku harap dengan
begini posisi ku agak tersamar.
Tapi tetap gelisah,
sesekali aku menengok kearah depan, kalau-kalau ada seseorang yang datang aku
bisa langsung memutar tubuh dan lari.
Tapi kemudian kelegaan
ku muncul ketika yang datang adalah dua temanku. Ah akhirnya kalian datang.
“Sudah? Syukurlah, ayo
pergi”
Jesica menahan tanganku
“tunggu Jean, apa kau
ada urusan penting? Kita harus menunggu Sandro. Dia ingin bertemu dengan mu”
Sandro? Laki-laki yang
menitip salam kepada ku? Yang ingin mencari tahu semua tentang ku dari Anne? Oh
tidak, mengapa harus menunggunya?
Wajah ku dari yang
letih berubah menjadi lebih masam.
“Ada urusan apa kalian
dengannya? Iya! Aku ada urusan penting, pikiran ku harus segera istriahat!” kataku kali
ini dengan nada suara berat.
aku yang tanpa mempedulikan
lagi reaksi keduanya langsung berjalan pergi, membiarkan genggaman Jesica terlepas.
“Jean..” Suara Anne
lirih, tapi aku tidak memandang lagi.
Apa ,mereka gila?
Aku akan menjadi
makhluk paling bodoh berdiri diantara mereka! Lengkap sudah hari ini
kesengsaraan dikelas ditambah kekonyolan yang harus ku hadapi dari dua teman
ku, yang entah semakin hari semakin menjadi-jadi.
Berjalan di lorong
sempit antara gedung kelas sepuluh dan perpustakaan,
aku berhenti sejenak. Mulai menghakimi perbuatakan ku barusan. Apa tadi aku
terlalu kasar? Apa mereka baik-baik saja? Mereka akan membenci ku? Mungkin aku
sudah tak terkendali dan meninggalkan kesan yang terlalu buruk?
Tapi mereka memaksa ku
melakukannya kan? Ini semua tidak harus dikhawatirkan.
Kulanjutkan berjalan,
kali ini tujuanku benar-benar sampai
dirumah. Sudah cukup kekacauan pikiran ku hari ini, aku butuh istirahat.
Entah karena terlalu
kesal, aku sperti menolak senyuman yang datang dari manusia-manusia sepanjang
jalan. Bahkan sapaan mereka, yang ku pikir adalah teman-temanku,tidak ku
pedulikan. Aku memandang lurus kedepan, dan mungkin dengan begitu mereka bisa mengerti
kalau aku tidak dalam situasi yang baik.
Meskipun sudah waktu
pulang, namun masih banyak murid-murid yang berkeliling disekitar kelas, di
taman, lorong-lorong, silih berganti kerumunan murid seperti menghalangi dan
memperlambat gerakan ku. Waktu terasa melambat, ketika ada yang memanggilku
dari arah belakang. Aku bisa mendengar suara nya. Namun tetap melangkah sampai
sebuah tangan meraih pundakku, dengan
lembut.
“Jean?.”
Pikiran ku sedang
kacau, dan panggilan itu, tangan dipundakku, kerumunan orang-orang dihadapanku,
aku ingin segera berbalik arah dan berteriak ke wajah siapapun yang sekarang
berada di belakangku.
Mau apa lagi mereka? Oke,
sekarang semua orang sudah bersekongkol agar aku menyadari kesalahanku dengan
tidak ingin bertemu Sandro? Dan membentak teman-teman ku?
Aku berbalik arah dan
mulut ku segera tertahan. Laki-laki yang berada dihadapanku adalah orang yang
tidak ku kenal, orang asing.
“Iya?” suara ku merendah
“eh maaf sebelumnya,
tapi aku sudah bertanya – tanya disekeliling sini tentang mu. Dan semua bukti
mengarah pada mu, apa kah kamu Jean
Audrey?” katanya.
Bukti? Bukti apa? Apa
sekarang tanpa sengaja aku sudah membunuh salah satu murid? Dan murid yang satu
ini datang untuk meminta pertanggung jawaban ku?
“ehm, Iya, aku Jean. Jean Audrey”
“Ada apa ya?”
Dia menjulurkan tangan,
dan tersenyum cemerlang.
“hay, aku Johan.” Secara
antusias.
“kamu masih ingat kan
kemarin malam? Twitter?” lanjutnya.
Tunggu dulu, twitter?
kemarin malam? oh ya tentu saja, dan Blog dan semua chatting itu, usaha ku
untuk menghindar, dan wajah ku yang berantakan
ini, sempurna!
“Oh ya ampun.” Aku
menyambut tangannya dengan ekspresi paling bodoh. Aku rasa dia akan kecewa.
“tentu aku ingat, baru
beberapa jam yang lalu.” kataku
Mencoba mengimbangi
senyumannya, ku berusaha terlihat ceria
untuk saat ini.
Dan tebak apa yang
terjadi selanjutnya? Dia mengajak ku untuk berjalan bersama-sama kea rah
gerbang sekolah, nama lengkap nya Johan Saputra, dia lebih tinggi dari ku
sekitar lima centi, rambutnya berwarna hitam lurus, cepak, dan alisnya begitu
tebal sehingga aku yakin dia dibantu pensil alis, namun yang menarik perhatian
ku adalah matanya, mata nya sebiru langit. Sepanjang itu kami bercerita, dengan
serius, tentang tulisan ku di Blog. Aku juga mendapat banyak pujian darinya.
Dan dia berhasil membuat ku bingung harus mengatur ekspresi, sejujurnya agak
sedikit kurang paham tentang menghadapi pujian, apa aku harus tersenyum,
tertawa, atau berlagak tidak terjadi
apa-apa?. Namun kebanyakan kata-kata nya tidak ku simak baik-baik, aku terlalu
kikuk. Dia juga menjelaskan kecintaannya
terhadap dance, yang dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas, dan
menghabiskan liburan akhir pekan dengan latihan.
Kami akhirnya sampai
dipintu gerbang, kini sesi perpisahan.
“aku rasa, sekarang
adalah hari keberuntungan mu. Karena bisa bertemu dengan salah satu penggemar
mu hahaaha” ucapnya.
Ya
sangat beruntung, pikirku.
Aku
bisa melihat ejekan dari tawa itu.
“oh, sejujurnya ini
pertama kali aku bertemu dengan
seseorang yang menyukai tulisan ku.” Aku terdiam sejenak, kemudian melanjutkan
“ku harap aku memberikan kesan yang baik”
Dia masih tersenyum,
dan takkan pernah berhenti, menjawab:
“benar kah? Wow, aku
yang pertama dan beruntung juga kalo begitu”
“ke arah mana kau akan
pulang?” dia balik bertanya.
“aku akan ke Kalasey. Dan kamu?”
“ehm, berarti kita
berbeda arah, aku tinggal di Johanesburg.”
Dia melanjutkan
“oke kalo begitu,
senang bisa bertemu dengan mu Jean. Aku
harap bisa bertemu lagi, dan pasti aku akan tetap mengunjungi Blog mu”
“tentu saja, senang
juga bisa berkenalan dengan mu” aku tersenyum dan segera berjalan ke arah halte
perhentian Bus.
Di bus aku memikirkan
tentang Johan, betapa yang kudapat adalah ketulusana dari nada bicara nya, dan
wajah yang antusias. Aku tidak bisa berbohong kalau ternyata dia memang nekat
mencari tau keberadaanku dan ingin mengobrol walau hanya singkat.
Cukup membuatku tersipu.
Iya, ada yang aneh dengan sistem yang
ada dalam tubuhku hari ini. Aku sudah tidak mau memikirkan Jesica, Anne ataupun
Sandro, mereka sudah cukup membuat ku
sakit kepala. Yang ku pikirkan sekarang hanyalah Johan.
Meskipun juga dia
sempat membuatku kaget dan
terintimidasi atas kedatangan nya yang
mendadak itu, tapi dari pembicaraan kita
tadi, aku bisa merasakan bahwa dia bukan anggota geng berandalan, dia terdengar
cerdas dan satu lagi, terlihat manis.
Aku sampai dirumah
dan langsung menghantam tempat tidur,
dan selanjutnya sudah tidak sadar.
-
Hari-hari selanjutnya
berjalan dengan penuh kesabaran, guru-guru tetap masuk kelas lebih lama, dan
bahan bacaan kami semakin menumpuk. Hubungan ku dengan Jesica dan Anne sudah
membaik, namun aku masih tetap menjaga jarak, setelah kejadian itu mereka enggan
menatap ku lebih dari enam-puluh detik.
Sedangkan Sandro? Aku
celakanya lebih sering bertemu dengan laki-laki itu. Dia dengan beraninya
sering datang ke kelas kami, menebar pesona ke setiap gadis yang ada. Aku tidak
habis pikir mengapa dia begitu giat memperlihatkan keterampilannya memainkan
bola basket, bahkan beberapa keterampilan lain seperti menyusun kartu di atas
meja, namun tak ada seorangpun yang melirik kecuali beberapa gadis genit
dikelas. Mengapa dia tidak menggaet salah satu dari mereka dan menjadikannya
pacar? Atau sekalian istri? Aku pernah
mendengar bahwa dia sudah melayangkan lamaran pertunangan yang ditolak
mentah-mentah oleh mantan kekasihnya.
Kehidupan ku
berlangsung normal, hanya ada buku-buku, Blog dan keluarga ku yang bisa ku
habiskan waktu bersama. Jean tetap lah Jean yang dulu, setidaknya untuk saat
ini.
Aku tidak lagi bertemu
dengan pengikut Blogku, Johan. Mungkin sama
seperti ku yangsibuk mempersiapkan ujian atau latihan dance nya?
Aku masih bersyukur akan hal itu. Namun, kami tidak pernah melewatkan satu malam tanpa chatting. Iya, setiap malam kami
chatting, dan sungguh diluar dugaan aku bisa membalas settiap tulisannya. Percakapan
kami memang asik, dia banyak membuat lelucon tentang ketidak sukaan nya
terhadap pengajaran guru mereka, dia juga membagikan cerita tentang sesi
latihan dance nya yang semakin intensif secara bersamaan. Aku bisa dibuatnya
tertawa geli sendiri, Mama ku sampai khawatir setiap malam.
“Jean, kamu baik-baik saja kan?” kata mama sambil memberikanku teh
hangat.
“mum” jawabku antusias
“ aku baik-baik saja, semuanya baik.” Dan kembali tenggelam dalam media
elektronik di tanganku.
-
Suatu hari, langit
mendung, suhu udara menjadi rendah-dan kelas baru selesai, aku tanpa Jesica dan
Anne sedang menunggu bus di halte ketika Sandro datang, membawakan minuman
hangat untukku.
Apa lagi sekarng? Apa
dia ingin mencuri simpati ku agar posisinya dikelas kami tetap baik? Pikirku.
“Jean..” dia memberikan
semangkuk cappuccino latte “cuaca sekarang cukup dingin, kamu harus
menghangatkan tubuh.”
“oh, terima kasih. Tapi
kau tidak usah repot-repot akan hal itu
Sandro” kataku sambil tersenyum geli.
“tidak apa-apa Jean,
aku hanya melakukan apa yang baik untukmu” katanya dengan sedikit mengangkat
dagu.
“hahaha..” tak bisa ku
tahan tawa melihat ekspresinya dan melanjutkan “oke Sandro, sekarang aku akan
terlihat lebih hangat, semoga kau nyaman.”
Aku yakin selama ini
sikap ku terhadapnya memang cenderung sedingin es batu. Entah apa yang
mendasari perilaku ku itu, namun sebenarnya tidak ada yang harus dihindari dari Sandro, kecuali
kata-kata nya terlalu mulus didengar oleh telinga gadis. Dia termasuk remaja
yang baik dan supel, dan khusus untukku, perhatiannya kurasa lebih dari pada
yang lain. Pendekatannya ke padaku dulu mungkin membuat penilaianku terhadapnya
berubah. Anggota tim basket sekolah kami ini memang terkenal Playboy, aku rasa setiap gadis di
sekolah ku sudah ada dalam list mantan
pacarnya. Tidak heran kalau sering kali yang aku lihat bukan tatapan kekaguman
yang di dapatnya dari gadis-gadis yang ku kenal, namun tatapan penyesalan.
Bus akhirnya datang
setelah kami menunggu sekitar dua jam, waktu yang cukup lama dari biasanya, dan
aku berpamitan kepada Sandro, menyampaikan rasa terima kasih ku kepadanya dan
menghilang dalam bus.
-
Beberapa hari
selanjutnya, semakin dekat dengan hari Ujian, urat-urat saraf di kepalaku
mengencang. Setiap pelajaran yang kami dapat terasa semakin mengerikan tiap
hari. Dan ditambah tugas sebagai ketua kelas ku untuk tetap menjaga keutuhan
kelas, dan kadang menyemangati teman-teman ku agar tidak kehilangan akal di
saat-saat kritis seperti sekarang.
Aku sudah terbiasa
dengan kebaikan Sandro, yang menurut ku diluar kendalinya sendiri, akan
cokelat-cokelat ‘penyemangat’ nya, kue ‘kepintaran’ dan lain nya. Beberapa
teman ku sudah mulai muak akan hal itu, mereka secara trang-terangan
membicarakan keburukan Sandro, dan menasehati ku untuk menjauh secepatnya. Aku
berpikir, kadang mereka lucu ketika bisa berubah perspektif akan seseorang
secepat kilat.
Namun, hanya Jesica dan
Anne yang terlihat selalu berkaca-baca bahagia ketika melihat aku dan Sandro
menghabiskan waktu belajar bersama. Mereka bahkan mendorong ku untuk menjadi guru
private bagi Sandro, ayolah!
-
Semuanya semakin baik
dan semakin buruk secara bersamaan.
Suatu malam ketika
semua murid senior sedang dalam keadaan
tegang, atau mungkin santai, aku tak terlalu memberi perhatian di daftar materi
dan hafalan, karena aku terlalu percaya
diri menghadapi ujian esok lusa. Aku sudah
seharian berada di sekitar kamar dan ruang tamu, tanpa keluar rumah,
karena hari ini hari sabtu aku habiskan hanya untuk membaca dan tentu saja
meladeni guyonan Johan.
Bagaimana aku akan menceritakannya? tapi beberapa hari
belakangan, kami sangat akrab, meski hanya lewat pesan singkat. Dia bahkan
memanggilku dengan sebutan “Sweety” yang sering membuat ku kesal. Entah atas dasar apa dia memanggil ku begitu,
gagasan aku adalah makhluk manis mungkin ku terima, tapi kalau “sweety” yang
keluar dari otak Johan menurut ku itu lebih mengarah ke ejekan, seperti manusia
rentan dan lemah? Iya! Itu yang ada dipikiran ku.
Karena beberapa malam
aku terlalu serius dengan kegiatan mengirim pesan, mama pernah bilang:
“seorang gadis bertukar
pesan dengan pemuda setiap malam, mengabaikan makan malamnya hanya untuk
melihat teks teks darinya, apa lagi yang tidak membuat ku curiga bahwa anak ku
sedang jatuh cinta?”
Aku merasa malu, ya
malu seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah bermain dengan teman imajinasinya. Apa yang mama maksud? tapi
teori dari nya bahwa aku sedang jatuh cinta selalu ku buang jauh-jauh, dan tidak
akan ku terima begitu saja anggapan Mama, karena bagiku itu konyol. Tidak
mungkin!
“Ingat sekolah mu
Jean.” Kata mama dengan datarnya.
Aku harus berpura –
pura membaca buku, dan menjauhi ruang tamu ketika sedang chatting belakangan
ini, aku menghindari mama. Aku hanya tidak setuju dengan pendapatnya, meski itu
tidak mempengarhi ketertarikan ku akan
laki-laki diseberang sana.
Satu hal lagi yang ku
suka dari nya, adalah pengertiannya terhadap
pribadi ku. Bukan ingin dimengerti
sebenarnya, tapi lebih tepatnya memberiku sedikit kesempatan untuk lebih siap
bertemu dengannya. Pernah suatu ketika dia mengajak ku bertemu makan siang,
tapi dengan penuh kata-kata indah teratur menyusun alasan agar hal itu tidak
terjadi, Johan seperti tertawa di seberang
sana, mengatakan:
“Entahlah,
aku mengerti Jean. Sepertinya kau harus mempersiapkan diri dulu sebelum bertatapan
lagi denganku, apa kau masih canggung?”
“Laki-laki ini begitu percaya diri” gumamku.
Tapi yang sebenarnya
adalah itu semua benar. Aku memang rasanya
belum siap bertemu lagi
dengannya, entah karena aku takut
membuat kesan yang buruk, atau tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatnya
menjauh. Iya, aku tidak mau laki-laki
itu menjauh, dan aku belum tau alasan nya.
Hampir tiap malam,
pertanyaan seperti “Are you ready yet?”
selalu muncul di kolom chatting kami. Dan membuat ku sedikit berbenah.
malam ini juga aku
menjawab “Ready..”
Kami menentukan tempat
pertemuan di salah satu taman kota, besok hari minggu sore.
“Jean,
mengapa kau tidak bertanya sesuatu tentang aku?”
Tulis Johan ketika topik
nya melulu tentang jalannya kehidupanku.
“hahaha,
aku tidak punya ide. Tapi, aku penasaran, mengapa kau ingin sekali bertemu
dengan ku? Apa kau sudah sangat merindukan ku hingga mimpi buruk?” tulisku
sambil tertawa geli, namun penuh emosi.
“mungkin
ini yang namanya rindu? Kangen? Tapi, kalau boleh jujur, aku memang merasakannya.
Aku rasa tidak cukup hanya tiap malam mengetik dan membaca tulisan, aku ingin
melihat mu langsung Sweety.”
Muka ku memerah padam
saat membacanya. Aku tersenyum, tapi senyum yang berbeda. Butuh beberapa menit
bagiku untuk mencerna tulisannya, dan mencoba memikirkan balasan yang tepat
tanpa ada unsur “terpesona”.
Aku pun membalas :
“Ahh,
aku sudah menduganya, gadis seperti ku memang sering dibilang orang ‘wajah
ngangenin’. Tidak usah risau akan itu Jo. Mau tidak mau aku harus membagi
kebahagiaan ku dengan orang-orang yang kangen pada ku.”
“iya,
dan ada yang ingin aku sampaikan” balasnya.
“oke.”
Jawabku
singkat, segera melempar ponsel ke sampingku.
Malam itu ku akhiri
dengan mempertimbangkan apa aku harus membatalkan pertemuan ini? Apa aku sudah hilang pikiran dengan
mencoba bertemu dengan nya? Aku sudah membuat kesalahan fatal pasti, dan
sayangnya tidak ada pilihan lain selain menghadapi hari esok.
Kantuk mengalahkan
segalanya pada akhirnya. Malam yang terlalu menggelikan untuk dipikirkan.
-
Keesokan harinya, aku
masih harus membereskan kamar ku, setelah tau bahwa ada seekor tikus masuk dalam
keranjang sampah. Kemudian mencuci semua pakaian kotor yang berserakan
dimana-mana. Hari minggu selalu istimewa
tentang kebersihan.
Aku berangkat jam tiga
ke taman kota, West-brook. Karena kita
akan bertemu tepat jam empat. Aku cukup bersemangat akan hal ini, karena sudah lama
juga tidak pergi ke taman itu. Ini bukan taman di daerah ku Kalasey, ini lebih besar dan ramai
tentunya. Pemerintah katanya baru membangun semacam fountain baru. Penasaran ingin melihatnya, dan juga
penasaran ingin melihat Johan.
Perjalanan dari Kalasey ke West-Brook menggunakan bus
cukup singkat, hanya 30 menit. Aku turun di halte tepat berseberangan dengan
taman. Aku bahkan sudah bisa merasakan atmosphere sejuk nya saat turun dari bus.
Pohon – pohon rindang di taman, memang seperti oase ditengah kota. Memberikan
suplai oksigen ke berbagai penjuru kota. Adalah ide bagus menurut ku datang lebih awal,
menikmati udara segar disini sendiri, kemudian mencari tempat duduk.
Memang meski sudah
masuk musim gugur, udara masih relatif hangat. Tapi kadang-kadang kau tidak
bisa berlama-lama diluar jika suhu turun drastis. Kali ini cuaca sedang cerah,
aku bisa melihat kejernihan dilangit, tak ada gumpalan awan. Aku mendapatkan
tempat duduk semacam bangku taman di bawah pohon. Setengah jam kemudian Johan
tiba.
Hari ini, dipertemuan kedua kami, dia terlihat sangat berbeda, aku
bisa tau bahwa dia baru saja mencukur rambutnya. Kami pun larut dalam percakapan hingga lupa hari semakin sore, dan matahari
sebentar lagi menghilang di ufuk barat.
Namun sesuatu yang ku
tunggu belum juga disampaikan, aku yang tidak mau segera menutup pertemuan ini
pun mulai memuaskan rasa penasaran ku akan perkataan Johan kemarin.
“Johan, bukan nya
kemarin kau bilang ada yang ingin dibicarakan dengan ku? Apa itu?” ucapku
sambil menatap ke arah depan kami.
Dari sisi ku, aku bisa
melihat siluet pepohonan, matahari yang
perlahan memasuki singgahsana nya dan
mulai merubah susunan warna di langit sekitar, dari tempat kami,aku bisa dilihat bagaimana langit berganti warna,
momen ini biasa di sebut “sunset”. Semuanya terasa menjadi melambat, aku bisa
memandang lebih lama langit kekuningan itu, rasanya menentramkan dan tenang.
Setelah terdiam cukup
lama, ku palingkan wajah ke Johan. Dengan cahaya yang semakin berkurang, aku
bisa melihat nya menyembunyikan wajah dibalik bayang. Sebelum akhirnya
mengangkat wajah, dan meraih kedua tanganku.
Situasi seperti ini,
ketika tangan mu digenggam oleh seseorang yang membawa kesan baik bagi mu,
ditempat yang sejuk ini, dan kau tau bahwa ini membuat jantung mu berdetak
lebih cepat dari biasanya, adrenalin mu memuncak saat itu juga. Ditambah fakta
bahwa aku belum prnah diperlakukan demikian.
Kami saling bertatapan,
aku bisa melihat senyum tersamar di wajahnya, mata birunya, bahkan rahangnya
yang bergemeretak.
“Jean..” katanya dengan
sangat lembut “aku tidak tau apa yang
membuat ku menjadi sedikit aneh belakangan ini, aku tidak bisa jatuh tertidur
dimalam hari dengan mudah sebelum mendapat salam tidur dari mu, dan jujur aku
belum memahaminya sampai kemarin malam.”
Aku memandanginya
serius, namun mulut ku tertahan, tidak mau mengganggu setiap kata-kata yang mungkin
keluar selanjutnya. Begitu pun mulutnya yang seperti tertahan, aku bisa
merasakan dia lebih gelisah dari sebelumnya. Selanjutnya dia memalingkan wajah ke sisi tubuhnya, kemudian menatap ku lagi,
memalingkan wajah, dan menatap ku lagi
dalam dan menghela napas meyakinkan.
“Aku jatuh cinta padamu
Jean.” Katanya memecah kesunyian.
-
Bagi ku cinta, cinta
adalah sesuatu yang bisa ku rasakan ketika Mama membuatkan sarapan, menyeduh teh
hangat untukku, memelukku ketika teman-teman sedikit menyakitkan, ketika Ayah
memeluk ku karena mendapat nilai bagus, ketika Jesica dan Anne mencium ku tanpa
alasan tepat, ketika Cleo merangkak kepangkuan ku dan memanja.
Perasaan-perasaan yang muncul bisa menimbulkan gejolak bahagia, dan kenyamanan
bagiku. Selama ini aku menikmati segala bentuk cinta mereka, aku sangat
bahagia, dan seiring waktu juga aku menyadari bahwa antara seorang wanita dan
pria, antara Ayah dan Mama terdapat perasaan yang lebih besar dan menyatu,
bukan cinta akan masakan atau berada
dipelukan, maupun ketika mendapat ciuman, tapi lebih dari itu. Aku merasakan
ada gejolak emosi yang saling menyatu diantara mereka, yang hanya bisa
dirasakan sesungguhnya oleh mereka, namun terlihat oleh pandangan orang lain.
Ada rasa sayang diantara mereka, ada cinta diantara mereka, diantara Pria dan
Wanita. Itulah yang ku ketahui dari Mama dan Ayah.
Aku sering
mempertanyakan pertanyaan seperti “Apa itu benar adanya? Perasaan itu? Lalu
bagaimana rasanya?” tanpa pernah mencoba membuktikannya atau dibuktikan.
Namun mungkin saja itu
semua memang benar dan ada. Seperti saat aku bisa tersenyum melihat Jesica dan Jason berduaan, ketika wajah
Anne berubah merah merona berbicara dengan yang disebutnya “pacar”. Aku bisa
merasakannya, aku bisa melihatnya. Tapi,
aku belum berani kea rah tersebut. Bagiku, cinta yang terjadi antara Gadis dan
Pria muda berbeda, masih rentan, bahkan membawa kemungkinan buruk.
Tapi aku juga tidak
membohongi nya, aku tidak bisa berbohong pada diri sendiri. Bagaimana cara ku
memikirkan Johan belakangan ini, bagaimana cara ku memandang mata biru nya,
bagaimana jantung ku berdetak cepat ketika dia memberikan salam tidur, dan
bagaimana saat ini, ketika tanganku di genggam nya lembut. Yang kurasakan
hanyalah bahagia, perhatian ku hanya tertuju ke satu arah, dan aku tidak ingin
ini segera berakhir.
Selanjutnya, sesuai
bayangan mu, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Aku terkejut sekaligus
bahagia. Sore itu kami berpisah dengan satu pertanyaan menggantung, dan butuh
waktu bagiku untuk menjawab nya.
Johan Saputra,
laki-lakiyang baru akrab dengan ku belakangan ini, penggemar tulisan di blog
ku, yang tak pernah absen chatting dengan ku, yang bertemu hanya sebanyak dua
kali, hari ini menyampaikan perasaannya terhadapku?
Apa ada yang lebih luar
biasa?
-
Malam itu aku tak bisa
tidur, meski sudah memaksakan, tapi satu jam, dua jam, tiga jam kemudian tetap
mata ku tak bisa tertutup. Entah kutukan apa namanya ini.
Yang kupikirkan adalah
bagaimana menghadapi kenyataan besok pagi, kenyataan bahwa teman baru ku
mencintai ku, kenyataaan bahwa perhatiannya selama ini ada maksud lain,
kenyataan bahwa kami tidak akan merasakan hal yang biasa lagi antara satu sama lain.
Aku habiskan malam itu
dengan membaca beberapa artikel, sampai mata ku rasanya sudah bengkak, dan
terlelap tak sadarkan diri.
-
Hari – hari selanjutnya
berjalan dengan berat bagiku, hari selasa seluruh murid senior memulai Ujian Akhir.
Sikap Jesica juga Anne tiba-tiba jadi
lebih ramah dan lembut dari biasanya,
dan aku tau penyebabnya, sebenarnya hal semacam ini sering terjadi bila
musim Ujian sudah tiba dan aku tidak bisa berpura-pura tuli selama ujian akan
mereka berdua. Setidaknya mereka yang selalu mendukungku. Tentang yang terjadi
antara aku dan Johan, aku tidak pernah
menceritakannya pada mereka, aku masih ragu untuk mengatakannya.
Sandro tidak pernah
datang lagi ke kelas kami, mungkin karena dia juga terperangkap ujian ini, atau
ada urusan dengan gadis-gadis lain?
Kami melewati ujian
dengan lumayan lancar, meski terdapat beberapa tradisi menyontek, tapi
guru-guru kami kurang sigap dan peka atau mereka membiarkan mereka. Dan beban
di otakku berangsur-angsur berkurang.
Ujian berlangsung selam
empat hari, dan setelah selesai, kami bisa pulang ke rumah dan tidak kembali ke kelas sampai hari
pengumuman atau pengambilan raport tiba, sekitar dua minggu setelahnya.
-
Selama ku hidup, ini
pertama kalinya ada seorang laki-laki yang menyatakan cinta nya terhdap ku,
secara terang-terangan. Dan aku tidak tau harus bereaksi bagaimana juga. Namun,
keraguan-keraguan ku selama ini, prasangka- prasangka tentang Johan selam ini
akhirnya terjawab, bahwa dia benar-benar
menaruh perasaan terhadap ku lebih dari seorang teman biasa.
Tapi, apakah itu yang
dinamakan cinta?
Melihat semua kenyataan
ini, sudah sepatutnya aku kehilangan
akal sehat. Namun rasa penasaran ku ternyata tak pernah padam. Apakah ini kesempatan itu? Kesempatan
merasakan sebuah Cinta dari seorang pria muda?
Lantas apakah aku juga
merasakan yang sama terhadap Johan?
Jawabannya bisa
ditebak, aku belum yakin!
Meskipun tidak ada keraguan
bahwa aku menyukai perangainnya yang
lembut, cukup menjengkelkan, dan sejujurnya lebih bijak dari perkiraan ku.
Namun, apakah itu semua sudah cukup?
Aku menghabiskan waktu
lebih banyak masih di sekitar rumah, bersama Mama, Ayah dan Cleo. Aku rasa
tidak ada yang lebih baik lagi.
Aku tidak mendapat
pesan dari siapapun beberapa hari itu.
Dan kebosanan ku
kutuangkan dengan tulisan-tulisan di Blog, beberapa hal-hal menarik yang patut
di bicarakan sering ku tulis. Tapi, ada yang kurang rasanya. Teman baru ku,
penggemar tulisan ku, si makhluk bermata biru itu bahkan tidak ada kabar sama sekali.
Rasa ketidak nyaman seringkali
muncul beberapa hari terakhir, ketika tidak ada salam tidur dilayar ponselku.
Dan Cleo sepertinya tau kalau aku sedang kesepian, sehingga sekarang tiap malam
dia masuk ke kamar ku untuk tidur di samping keranjang pakaian kotor ku. Aku
memperhatikannya sampai mata ku lelah sendiri dan tertidur.
Suatu malam, ponsel ku
menerima sebuah pesan singkat dari orang itu.
Pesan itu berisi:
Hay,
Jean.
Maaf
mengganggu mu,aku hanya ingin memastikan apakah kau baik-baik saja?
Sudah
seminggu lebih kita tidak saling mengabari, aku sedikit kurang nyaman.
Tentang
hal yang ku sampaikan di taman, aku minta maaf jika itu membuat mu terkejut,
tapi memang itulah yang kurasakan terhadap mu. Dan aku tidak memaksakan mu (:
Aku
harap kita bisa bertemu secepatnya,
Have
a great night..
Aku tidak bisa
menyebunyikan rasa bahagia ku malam itu. Berkeliling kamar dengan sesekali
melantunkan lirik Fearless, aku
benar-benar jadi makhluk aneh malam itu.
Dan karena tidak tahan,
aku membalas pesan itu,
Hay
juga, tidak perlu minta maaf Johan, karena kau tidak melakukanapa-apa yg buruk
terhadap ku.
Malah
senang rasanya bisa mendapat pesan dari mu.
Aku
baik-baik saja, hanya sedikit bosan. Dan
kamu?
Iya,
aku juga berharap begitu..
-
Keesokan harinya kami bertemu,
di tempat yang sama, di taman West-brook.
Suasana sudah berbeda,
aku bisa mersasakan keistimewaan dalam dirinya,
semilir angin di siang hari membuat kegundahan hati ikut terbawa, tergantikan oleh kebahagiaan. Tatapan nya tajam seperti
mengatakan segalanya, bahkan tanpa kita mengeluarkan sepatah katapun. Suasana
menjadi lebih hangat.
Dan pada suatu titik, aku bisa menyatakan semuanya dengan
lebih teratur.
Bisa dibilang, sore
itu, kita resmi jadi sepasang kekasih.
Dan hari – hari
selanjutnya pun, semakin penuh kejutan.
-
Aku tidak pernah
membayangkan akan hari – hari seperti pergi menghabiskan waktu di tepi kolam
untuk menghabiskan makan siang, menonton bioskop, keluar ke kota sampai cukup
larut, menikmati sunset dari bukit, melempor koin kolam harapan, menyusuri sudut kota menggunakan sepeda motor,
semuanya bersam seorang yang ku sebut kekasih.
Johan bahkan pergi ke
rumah untuk menjemputku, dan anehnya Mama tidak terlalu menaruh prhatian
kepadanya.
Kami benar-benar
tenggelam dalam dunia yang penuh kebahagiaan, dan dunia terasa berseru,
bersorak mendukung setiap langkah kami bersama. Kami juga membicarakan hal-hal
yang kami sukai satu sama lain, menceritakan cita-cita dan harapan kami, meski
terdengar aneh, tapi kami bahkan sudah memikirkan sampai ke arah yang lebih
jauh.
“Jean, hari-hari ku tak
pernah sebaik ini.”
“sungguh bersyukur bisa
mendapatkan mu Sweety.”
Rasanya hidup ku lebih
sempurna!
-
Suatu malam, Mama dan
Ayah berbicara dengan ku, tentang
kelanjutan studi.
“Sayang, kau tau Ayah
berharap kamu bisa masuk di UNC, dan mengambil jurusan ekonomi,” kata ayah
sambil memberikan ku selembar brosur.
Brosur itu adalah info
mengenai Universitas.
Mama kemudian ikut
berkomentar dan memberi usulan.
“universitas di daerah
sudah cukup baik kualitasnya Jean, bahkan untuk jurusan Business tidak kalah
dengan jurusan diuniversitas di ibu kota negara.”
Sebenarnya aku ingin
mengambil jurusan Ilmu Budaya, atau tepatnya sastra. Gagasan untuk mengambil
jurusan ekonomi cukup membuat ku resah. Namun, adakalanya aku harus bisa mendengarkan nasehat kedua orangtua
ku.
Dua hari lagi
pengumuman kelulusan, dan setelah itu jika dinyatakan lulus, kami benar-benar
sudah ditendang keluar sekolah dan harus bisa menentukan jalan masing-masing.
Tapi, bagaiman dengan
Johan?
Apa dia akan masuk universitas?
Aku harap begitu, sekalian saja satu kampus dengan ku.
Bagiku, kuliah adalah
penting adanya, aku hanya tidak tertarik menjadi seorang pekerja diusia yang
masih sangat muda, aku masih butuh ruang kelas, seorang guru, dan buku- buku untuk belajar.
Mungkin saja Johan akan
mengambil kuliah, aku akan memastikannya nanti. Lucunya, Kami belum pernah
membahas tentang ini.
-
Pada hari pengumuman,
kami siswa senior dinyatakan lulus,
seratus persen.
Hari itu adalah pesta
besar bagi seluaruh murid senior, tak
terkecuali murid SiBu.
Kami menghabiskan sore
hari dengan pergi ke pantai, mencoret-coret seragam kebanggaan kami, dan mengambil beberapa
gambar diri kami dari berbagai sudut. Sungguh menyenangkan memang. Hal semacam
ini sudah lumrah dan seperti jadi bagian budaya.
Johan selalu berada
tidak jauh dari ku, meskipun dia tidak terlalu menonjol. Kami sudah berjanji
untuk tidak memperlihatkan lebih kepada teman-teman. Sedangkan Jesica dan Anne
hanya mengangapnya sebagai teman biasa.
Pada suatu kesempatan, aku dan Johan pergi melarikan diri
dari keramaian. Ingin menikmati waktu hanya berdua.
“aku belum tau Sweety,
mungkin belum akan kuliah.” Jawab Johan.
“belum tau?”
“iya, aku belum yakin
dengan kuliah. Sepertinya aku akan fokus di dance.’’
Malam itu berakhir
dengan rasa lelah yang amat sangat. Jesica dan Anne memeluk ku sebelum
berpisah, mengatakan bahwa mereka akan selalu dengan ku. Atau itu artinya kuliah dengan ku?
-
Setelah itu, hari—hari
selanjutnya tidak ada yang spesial. Aku hanya berada dirumah mempertimbangkan
pilihan ku dalam mengambil jurusan. Tak ada pesan singkat, atau telepon.
Yang aku tau Johan sedang sibuk dengan latihannya yang
semakin hari semakin intense sejak
masa ujian sekolah. Dia pernah bilang kalau ada kejuaraan dalam waktu dekat
ini, dan tim mereka sedang dipersiapkan. Aku tidak terlalu suka dance, tapi
cukup betah melihat gerakan lincah dari dancer.
Aku merasa dance sama
dengan olahraga berat, yang memerlukan koordinasi dan stamina kuat.
Belakangan, ketika aku
sudah mulai mengikuti kegiatan orientasi dikampus UNC, Johan hanya sesekali
mengirim pesan, yaitu pada saat pagi hari dan malam sebelum dia tidur. Kadang
juga dia lupa sama sekali.
Aku mulai cemas akan
hal itu. Dan ingin mengetahui keadaan nya lebih dekat.
Suatu hari aku bertemu
dengan Jesica, kami makan siang sama-sama dan sempat mengelilingi kampus
sekitar sejam. Dia mengmbil jurusan kesehatan masyarakat, sedangkan katanya
Anne mengambil jurusan Pertanian. Aku sendiri mengambil jurusan Ilmu Budaya.
Setidaknya kami bertiga masih berada di kampus yang sama.
Tindakan ku memang
cukup berani, tapi itulah pilihan ku. Dan aku rasa kedua orang tua ku berangsur-angsur
akan tenang.
Jesica sempat bercerita
tentang perjalanannya ke Southern-Rock.
Melihat pemandangan tepi pantai yang indah, tempat itu menurutnya adalah yang
tebaik untuk urusan pantai, dan memang begitulah apa yang selama ini kudengar
dari Mama. Namun, sayangnya aku belum pernah kesana.
Apa yang membuat ku
terkejut sebenarnya bukan cerita tentang pantai atau burung-burung camar nya
yang mencuri makanan, tapi apa yang Jesica lihat disana, di tapian pantai. Dia
melihat Johan sedang berlibur juga disana bersama beberapa orang teman, dan menurutnya
ada beberapa gadis juga yang ikut.
“Aku tidak cukup berani
untuk mendekat Jean, karena rasanya aku belum terlalu dekat dengan teman baru
mu itu.”
“tapi dia terlihat
cukup baik. Aku suka gayanya Jean” lajut Jesica sambil tertawa.
Johan?? Berlibur? Sejak
kapan? Bukannnya dia sedang giat latihan?
Lalu jika memang benar
dia berlibur, mengapa dia tidak mengabari ku? Apa beberapa kata cukup sulit
untuk diketiknya ?
Muka ku cukup muram saat itu, sehingga memaksa Jesica melontarkan
beberapa pertanyaan. Tapi aku berusaha untuk tetap mengunci rapat-rapat
hubungan ku dengan Johan. Apa jadinya jika Jesica tau? Dan pasti seperti ku
juga, kejanggalan akan timbul di pikirannya yang mau tidak mau dia juga pasti
akan mencari tau seluk beluknya. Aku belum mau
mengatakannya sekarang.
Malam itu, aku
beranikan diri untuk bertanya pada Johan, segala yang ku tidak pahami.
Beberapa jam kemudian
baru balasan nya muncul.
“Maaf
kan aku Sweety, iya memang aku pergi ke Southern-Rock hari itu,”
“kami
sedang mengadakan latihan sebenarnya, dan menurut pelatih, tempat disana cukup
bagus.”
“mengapa
tidak mengabari ku?”
“karena
ku pikir ini bukan hal yang harus di besar-besar, apa benar?”
“aku
kekasih mu, dan jika kau tidak bisa mengabari ku keadaan mu, apa yang bisa
membuat ku tenang?”
“aku
butuh kabar mu Johan, tidak ada alasan lain lagi.”
Kami kemudian menyudahi
malam itu dengan percakapan lewat telepon dan beristirahat.
-
Beberapa hari kemudian,
ketika perkuliahan sudah mulai, aku
merasa cukup kesepian meski ada sekitar seratus-an orang di dalam rungan kelas
dan ratusan lagi setiap kali aku berjalan di areal kampus.
“kamu
dimana? Bisa kah kita bertemu?” aku mengirim johan pesan singkat.
“aku
bisa nanti lusa, karena team kami tidak ingin kekurangan anggota dalam beberapa
latihan ini.” Balasnya.
-
Kami bertemu dua hari
kemudian di sebuah café. Memulai percakapan dengan cukup penasaran, aku
bertanya apa saja yangselama ini menghantui ku.
Kemudian dia balik
menanyai kehidupan baru ku sebagai mahasiswa, “cukup menarik.”
Jawabku.
“apa benar kau pergi ke
Southern-rock dengan beberapa gadis?”
tanya ku kali ini tak tahan.
“iya, mereka anggota tim
wanita.”
“lalu, apa yang kalian
lakukan setelah latihan? Apa langsung pulang? pasti tidak.”
“kami berjalan ditepi pantai
sebentar dan kembali ke West-brook
ketika malam tyiba.”
“kamu tidak berbohong kan?”
tanya ku lagi sambil menatapnya sinis.
“haruskah ku berbohong?
Tidak ada gunanya kan.”
Hari itu kami berdua
pergi ke beberapa tempat ramai, bisa dibilang tempat untuk berkencan. Namun,
Johan sepertinya kurang senang ketika aku terus-terusan menanyai nya tentang
teman-teman gadisnya.
-
Mungkin sudah saatnya bagiku untuk lebih terbuka. Lagipula
mereka teman dekatku, tak ada yang akan membuat ku terlihat konyol, iya kan?.
Akhirnya aku menceritakan segala
hubungan ku dengan Johan selama ini kepada mereka berdua, Jesica dan Anne.
Bahkan aku menunjukan beberapa foto ku
bersama Johan, dan pesan singkat untuk meyakinkan mereka. Reaksi mereka tak tertahankan,
wajah ku beberapa kali jadi korban cubitan, ciuman mereka berdua, Anne tak percaya sepenuhnya
hingga harus mengkonfirmasikannya kepada ku beberapa kali. Dan kemudian sisa
hari itu aku hanya di goda oleh mereka sampai rasanya ingin menyingkir dari
hadapan mereka selamanya.
-
Untuk tetap dalam kontrol
ku, setiap beberapa jam aku selalu menelpon Johan. Menanyakan keadaannya dan
lain-lain.
Beberapa panggilan
berikut sudah tidak diangkatnya lagi. Dan amarah mulai merasuki ku.
Ku putuskan untuk tidak
menelpon atau mengirim pesan singkat seharian esok hari, bahkan kalau dia
menelpon, aku takkan mengangkatnya dan melempar ponsel ku ke keranjang.
Apa maksudnya tidak mengangkat
telepon ku? Sesibuk itukah latihannya?
Pemerontakan ku semakin
didukung oleh pihak lawan yang sepertinya juga tidak memedulikan nya.
-
Aku menyayanginya, aku
butuh kabarnya, aku benci teman-teman gadisnya, aku ingin dia memperhatikanku
walau hanya beberapa waktu. Apa dia membenci ku?
“Johan,
aku tidak menyangka kau bisa berbuat begini!” isi pesanku
yang ku kirim tadi belum juga dibalasnya.
tapi kemudian ponsel ku berdering, itu telpon darinya.
“halo, Jean?”
Aku tidak menjawab nya,
hanya berusaha memperdengarkan nafas ku.
“apa kau baik-baik
saja?”
“maaf kan aku karena
baru sekarang free.”
Tiba tiba kata-kataku keluar otomatis dalam satu tarikan nafas, tak
terkendali
“kamu sudah tidak
peduli padaku!”
“kamu lebih
mementingkan latihan dan teman-teman gadis mu!”
“apa kau sudah termakan
rayuan mereka?”
“Aku benci kamu Johan!”
Terdiam sejenak,
kemudian suaranya dari seberang merespon, kali ini terdengar berat.
“Jean, pertama, aku memang sibuk latihan, dua hari lagi aku akan bertanding di teen-center, dan aku sudah membeli dua tiket, aku pikir satu untuk
mu, kedua, aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan teman – teman ku disini,
mereka hanya teman latihan, dan ketiga, bisakah kau menjadi Jean yang kukenal
dulu? Penulis pintar di Blog yang bisa membuat
ku takjub? Bisakah kau menjadi Jean yang
ceria dan tetap cerdas?”
Aku terdiam beberapa
saat, tanpa sadar air mata sudah mengalir turun membasahi pipi ku, dan kemudian
aku memutus sambungan telpon nya.
Aku
sudah kehilangan diri ku sendiri. BS.
The
End
This story was began on
Monday, June 20, 2016, 5:58:52 PM and finished on Sunday, July 03, 2016,
10:44 PM. This is the first short-story I have ever written.
No comments:
Post a Comment