First Affection
“Cinta dalam kesalahan selalu buta,
selalu membahagiakan, tak terikat oleh peraturan, bersayap, dan tak terbatas,
serta menembus semua rantai – rantai pemikiran.” – Shakespeare.
Dua hari sudah setelah
percakapan di telpon malam itu, dan
setelah turun dari sepeda motor, sekarang kami berjalan bersama ke gedung teen-center.
Hari ini aku akan menonton tournament dance terbesar di West-Brook, dan sekaligus memberi dukungan kepada sahabat ku yang satu ini. Dia adalah salah satu
kontestan yang akan tampil hari ini.
Kami berjalan berdampingan layaknya sahabat yang sudah saling mengenal
baik selama bertahun-tahun. Sesekali laki-laki bermata biru itu menarik-narik
ujung rambut ku yang terurai. Namun, mungkin kalian akan terkejut mengetahui kehidupan kami sebelumnya, bahkan tidak sampai bertahun
– tahun, aku cukup heran bisa bertemu dengannya. Hati ku terasa jernih hari
ini. Kupandang sekilas wajahnya dari samping, senyum bahagia tergantung di wajahnya. Aku rasa
memang hari ini adalah hari baik bagi
dia maupun aku.
Langit biru tanpa
segumpal awan menambah kecerahan hari ini, dengan udara musim gugurnya, sesekali aku tersenyum diterpa
angin semilir. Memikirkan betapa anehnya
hidup ini, betapa cepatnya semua berubah.. Dan menebak apakah laki-laki disampingku ini juga
berpikiran yang sama? memang
memikirkannya saja sudah lucu, minggu-minggu yang singkat itu, haruslah
diingat selalu, menganggap semua nya sebagai memori penting, walaupun akhirnya,
aku menemukan kembali diri ku yang sebenarnya, dan sungguh, itu sudah cukup bagiku.
-
Langkah kaki ku
santai namun berat. Kuperhatikan kedua
kaki ku melangkah, di atas jalan berbatu ini, kedua tanganku berada di bagian depan kantong jaket. Aku memperhatikan sekeliling,
daun musim gugur mulai berjatuhan. Begitu pun angin yang menderu disela-sela ranting pepohonan,
menghasilkkan suara yang bagiku terdengar sederhana namun merdu, terasa tentram.
Setidaknya aku punya
cara sendiri untuk menghilangkan penat
dikepala, dan sedikit membuatnya segar.
Langkah ku terhenti
ketika tiba-tiba melihat sepasang muda-mudi sedang duduk di kursi taman. Sang
lelaki merangkul gadis itu, dan dari
wajah mereka, jelas lah terlihat kebahagiaan, tersenyum bahkan tertawa
tanpa seorang pun tau penyebabnya kecuali mereka. Mereka terlihat intim, cukup
untuk membuat ku membuang muka. Aku kembali melanjutkan jalan-jalan ku.
Sore ini aku senang
bisa keluar dari rumah untuk menghirup udara segar dan menyapa dunia luar,
dalam harapan akan menikmati kesendirian dan ketentraman, namun apa yang ku
lihat barusan sedikit mengganggu ku.
Beberapa minggu
terakhir, pikiran ku terperangkap oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Pada malam
ulang tahun ku yang ke tujuh belas. Aku bahkan merasa teman-teman ku sudah
bersekongkol untuk memojokkanku. Pertanyaan mereka identik
“Jean, Kapan kamu punya
cowok?”
“Belum mau pacaran kamu? Sudah tujuh belas tahun loh,
heran aku.”
“mau aku carikan pacar
jean?”