Sunday, 16 October 2016

Green Necklace



Udara pagi itu menusuk tulang. Dibalik kaca, embun terlihat menyelimuti halaman rumah. Tak ada mentari di pagi buta kali ini, namun Erika sudah bangun sambil merapatkan kedua kakinya.
Sudah hari ke seratus dia berada disini.
Tuan Steinfeld masih belum membuka pintu rumahnya, sesuatu yang langka di pagi hari.
Erika, gadis pendiam ini terpana melihat kilauan cahaya dari kalung nya.

-

Seperti hari-hari biasa di Orchard. 
Orang-orang sejak pagi sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Beberapa penjual makanan dan bunga sudah sejak jam enam membuka lapak.
Hari itu juga Erika menandai kertas berwarna perak yang menunjukkan angka  berupa tanggal. Sudah hari ke delapan puluh-lima dia berada disini.
Apa yang dirasakannya selama ini cukup membuatnya enggan tertidur lebih lama.
Dia mencintai kota kecil ini. Dia mendapat teman baru disini, dan bahkan mereka adalah yang pertama bagi nya.
Hari itu, Erika akan kembali berjalan mengelilingi kota, dengan menenteng keranjang buah, sambil menyapa setiap orang yang ditemuinya. Gadis itu bahkan sudah memiliki kesan tersendiri bagi penduduk Orchard.
Joyce dan Liana sudah menungguya di pusat kota. Mereka sudah seperti saudara, dan sering menghabiskan waktu satu sama lain. Erika sering berkunjung ke rumah mereka. Namun belakangan orang tua mereka sedikit sibuk dan membiarkan anak-anak mereka pergi menghabiskan waktu diluar.
Erika tidak pernah menceritakan kisahnya secara utuh. Yang Joyce dan Liana tau, dia hanya seorang gadis pindahan dari pedesaan di timur Alfok. Dan persahabatan mereka pun tidak terlalu mempermasalahkannya.

-

“dia datang” kata Liana.
“hai” kata Erika “apa aku terlambat?”
“tenang saja. Kemarikan apel-apel itu, kita harus menyajikannya sebelum siang”  Joyce beranjak dari tempatnya duduk.
Mereka pun memulai kegiatan mengiris buah, memotong-motongnya dan menaruhnya dalam wadah yang sudah di isi syrup. Pada saat matahari sudah cukup tinggi untuk berteduh, mereka sudah menyajikan minuman segar itu di atas meja kecil.
“bagaimana menurut kalian?” ucap Joyce sambil memperlihatkan hasil tenunnya.
“indah sekali Joy” jawab Erika bersemangat.
“terima kasih Erika, ini adalah percobaan yang ke sebelas kali, ibu ku sudah menyerah dan membiarkan ku sendiri” kali ini Joyce tertawa.
Siang itu mereka bertiga pergi menyusuri desa dan perkebunan, Liana paling tau hal menyenangkan untuk dilakukan bagi gadis-gadis berusia sepuluh tahun, dia membuat anyaman dari daun yang cukup fleksibel sehingga berputar ketika dia berlari melawan angin. Sontak hal tersebut membuat Erika dan Joyce terkagum-kagum.
“ajarkan kami!” teriak Joyce .
Mereka menghabiskan waktu sampai sore di padang, dan ketika langit menguning di ufuk timur, mereka berbaring di atas rerumputan.
“apa kalian tau kapan Orchard di bangun?” tanya Erika.
“Aku belum pernah bertanya” jawab Joyce.
“mungkin sudah dari ratusan tahun lalu” kata Liana “tapi aku tidak tau persisnya”
“kita bisa tanya ke Ayah” ucap Joyce.
“lalu apa maksud dari perayaan Gordoane?” tanya Erika.
“katanya itu sebagai peringatan hari dimana dewa langit turun pada malam ke tujuh dibulan Mei” jawab Liana “dan kita akan mendapat keberkahan, hanya saja aku tidak tau apa dewa – dewa itu benar ada”
“tentu saja ada,” sergah Joyce “tidakkah kau perhatikan, setiap memasuki bulan Mei pasti akan turun hujan atau angin kencang, itu tandanya mereka segera datang”
“ya, mungki saja,  itu seperti alarm untuk anak penakut seperti mu” ucap Liana.
Tawa pecah diantara Erika dan Liana.
Erika sebenarnya kagum dengan Hari Gordoane, bahkan masih dua hari lagi, tapi orang-orang sudah bersiap, dan melakukan banyak kegiatan untuk menghias jalanan dan rumah-rumah.
Apa mereka tau sebentar lagi dewa-dewa itu benar-benar akan datang? Dewa-dewa bertaring dan memiliki senjata pembunuh.

Malam itu Erika berkomunikasi dengan Tuannya, Lazardos.
“bagaimana keadaan mu Erika?” suara berat itu keluar dari alat pendengar berbentuk silinder.
“aku baik, semua nya baik” jawab Erika.
“apa berita yang bisa kau berikan untukku malam ini?”
“tidak banyak, hanya suasana pedesaan yang indah.” Kata Erika “hari ini orang-orang sudah mulai menghias jalanan”
“luar biasa bukan? Mereka bahkan tidak menyadari kedatangan kita”
“iya, dan sepertinya semua orang bahagia”
“kau sudah menemukannya?”
“belum”
“Erika, Ratu  sudah akan memerintahkan koloni berangkat ke sana bagaimana pun juga dua minggu lagi.” Kata Tuan Lazardos “kau harus cepat menemukan lokasi pendaratan”
“bagaimana mungkin?” ucap Erika “aku bahkan belum tau beberapa tempat disini”
“dengar, kau harus menemukannya bagaimana pun caranya, kejayaan koloni ini tergantung pada mu Erika” sergah Lazardos dan memutus sambungan.

-

Semuanya tampak berbeda hari ini, besok adalah hari yang besar di Orchard. Orang-orang akan berpesta di pagi sampai sore hari, kemudian malam hari warga akan berkumpul dibalai umum dan pergi ke kuil.
Liana dan Joyce tidak terlihat di taman. Erika tenggelam dalam benaknya.
“Hallo kak”
Seorang anak kecil tiba-tiba menyapa, berdiri di hadapan nya.
“hai” Erika langsung tersenyum melihatnya.
“maukah kau menemaniku?”
“tentu” jawab Erika.
Mereka berdua bermain simpul sebelum berpindah ke kelas melipat kertas. Erika sangat senang menemani anak itu.
“aku Andre.” Ucap bocah itu dengan tangannya sibuk melipat kertas.
“sedang apa kau disini?” tanya Erika
 “aku hanya bermain disekitar sini, lalu melhat kakak sendiri”
“dimana orang tua mu?”
“mereka sdang sibuk dirumah, aku rasa lebih menyenangkan di sini”
“tentu saja, mari bermain lagi” kata Erika “nama ku Erika”
Sebelum kembali pulang, Andre memberikan gelang buatannya kepada Erika. Dengan sedikit tak teratur, gelang itu terlihat cantik di pergelangan angan Erika.
“terima kasih Andre, aku menyukainya” kata Erika “besok kita bermain lagi ya?”
“baiklah. Sampai jumpa Kak Erika”.

Di Deluxa, Erika tidak sering bermain diluar. Dia harus pergi bekerja di tambang bersama anak-anak lain seusianya. Dengan penyesuaian waktu dan porsi pekerjaa, anaka-anak bahkan harus rela mengorbankan masa bermainnya.
Bermain bersama Andre membuatnya bahagia sekaligus sedih. Bagaimana mungkin ada tempat seindah ini, sedngkan di tempat lain rasanya hidupa tidak ada belas kasihan.

-

Erika menyusuri jalur sungai (Liin).
Mencoba menikmati hembusan angin, dan langit lebih indah dengan bintang-bintang,
Apa yang mereka lakukan disana?
Sudah delapan-puluh-enam hari Erika disini. Dia belum mendapat kabar apa-apa dari orang tuanya.

Tuan Lazardos punya alasan nya sendiri.
Mereka bisa saja di usir dari kapal, mereka bisa saja di kurung dalam sel, atau mungkin tewas dalam kerusuhan.

-

Keesokan paginya, Erika dikagetkan oleh suara dentuman meriam.
Sekitar sepuluh kali terdengar. Suara itu pasti dari lapangan desa, karena hari ini adalah hari besar bagi rakyat Orchard. Hari ini adalah perayaan Hari Gordoane.

Dari jendela, Erika melihat rumah Tuan Steinfeld sudah terbuka pintunya, dengan beberapa hiasan di samping tiap jendela –seperti karangan bunga.

Dia pun keluar ke halaman dan melihat betapa ramainya kerumunan orang di jalanan. Joyce dan Liana tidak terlihat, namun rasanya semua anak-anak terlihat seperti mereka berdua.

Erika memakai sepatu dan langsung pergi ke keraimaian. Sepanjang mata, yang bisa dilihatnya adalah orang-orang yang tampak riang,  memakai pakaian rapih dan berwarna-warni. Anak-anak berlarian sambil memegang sesuatu seperti yang dibuat Liana waktu itu. Di pinggir jalan, digantung hiasan terbuat dari dedauan, lalu ada lampu-lampu kecil juga menghiasinya. Erika tenggelam oleh kekaguman.

Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. 

“Hallo gadis kecil, selamat Hari Gordoane”
“Tuan Steinfeld” kata Erika ketika berbalik badan lalu menyambar pelukan hangat itu.
“Ini  untuk mu” setangkai bunga berwarna kuning-keemasan di ulurkan Tuan Stainfeld.
“untuk ku?” ucap Erika berbinar-binar “ohh indah sekali Tuan,  terima  kasih”

Erika kembali memeluk nya sebelum Tuan Steinfeld pamit dan berbalik ke arah kerumunan orang.

“Erika!” suara samar-samar terdengar dari belakang telinganya.
“Joyce? Liana?”
Dua gadis berpakaian berbentuk bunga dan bermanik-manik itu berlari ke  arah Erika, rambut mereka tergerai panjang seperti ingin terlepas ke udara.
“Erika..” ucap Joyce “kami mencari mu dari tadi”
“dari mana saja kau.. eh ayo cepat ikut kami” mereka menarik tangan  Erika dan masuk ke kerumunan penduduk di jalanan.

Terik matahari pagi rasanya tidak berpengaruh terhadap antusias orang-orang. bulir-bulir peluh terlhat di dahi dan wajah mereka, tetapi senyum mereka terus mengembang seperti bunga Dendelion di padang.

“kau tidak bisa melewatkan ini” Liana menatap dengan binar ke arah undakan patung di tengah lapangan.
“itu…” seketika bulu roma Erika bergetar.
“itu adalalah penampilan sang Dewi” jawab Joyce mencoba melindungi wajah dari sinar matahari
“itu.. Dewi? Sangat besar..” mata Erika tidak berkedip.
“sangat besar memang, rasanya sama besar dengan rumah ku” ucap Liana tersenyum bangga.

Para lelaki yang berpakaian berumbai dengan dada terbuka menari tarian yang seperti gerakan melompat-lompat kecil, sambil membawa tongkat dan tameng. Lalu salah seorang diantaranya mengambil obor api yang kemudian di iringnya ke darerah sekitar kaki patung tadi.

Kira-kira setinggi tujuh meter berdiri di tengah lapangan itu, sebuah patung menyerupai wanita dengan setangkai bunga di tangan – bunga buatan raksasa, dan juga tongkat di tangan yang satunya.

Lelaki yang membawa obor tadi meneriakan kata-kata yang khas dari Orchard:
“Jika kau datang, berilah kasih sayang dan anugerah, bila kau pergi tinggalkanlah cinta”
Orang yang tadi kemudian melempar obor api tersebut ke kaki patung, dan seketika nyala api nya merambat naik ke seluruh permukaan patung raksaasa tersebut – yang ternyata seperti kapas yang terbakar, memancarkan cahya kuning dan biru api, menyelimuti seluruh bagian patung sebelum
“BOOM”

Ledakan itu terjadi dengan suara seperti popcorn yang meletus, tidak terlalu nyaring, tapi beradiasi lembut dan hangat, juga terang.

Tiba-tiba seluruh langit dipenuhi benda berwarna pink lembut, berkilauan, menyebar ke seluruh penjuru lapangan,
“apa yang..” Erika menyingkap tangan dari wajahnya, kemudian menyaksikan benda sepeti kapas beterbangan di udara, memancarkan kilauan terkena bias matahari. Suasana menjadi hening.
Lalu, sorak-sorai seketika pecah oleh kerumunan penduduk.
“Hidup Dewi!!”
“Selamat Hari Gordoane!”
“Berbahagialah!”.
Merinding di sekujur tubuh, Erika pun ikut berteriak sambil melompat-lompat.

-

Mereka bertiga berjalan menyusuri desa, dengan bantuan alat berbentuk bulatan oval yang mengeluarkan cahaya kuning. Mereka tidak kesulitan untuk sampai di padang rumput - tempat dimana mereka biasa bermain.

“Lihatlah semua ini” Joyce berlari kearah rerumputan, berputar-putar sebelum menjatuhkan diri ke tanah.
“ini luar biasa bukan?” tanya Liana menatap kedua mata Erika yang terlihat berbinar dibawah cahaya rembulan.
Mereka merebahkan tubuh sejajar beralaskan rerumputan.
“apa yang kau pikirkan Erika?” tanya Liana memecah keheningan.
“aku tidak bisa membayangkan apa-apa” ucap Erika “hanya sangat senang”
“inilah Hari Gordoane” kata Liana menatap ke arah Erika.
“kau harus benar-benar menikmati nya” Joyce menimpal.
“aku tidak pernah membayangkan tempat secantik ini sebelumnya” kata Erika.
“bagaimana dengan daerah asalamu?” tanya Joyce kemudian.

Mendengar itu, Erika mencoba memikirkan sesuatu hal dan teringat kembali keluarganya di Deluxa. Tempat yang dikenalnya sangat keras, gelap dan penuh dengan abu hitam. Peperangan, kelaparan, tangisan, kesengsaraan, invasi dan lainnya terlintas dalam benaknya saat itu.

“ehm, kami tidak sering merayakan sesuatu di kampung halaman kami” kata Erika sambil memegang kalungnya.
“apa kau benar akan tinggal disini seterusnya?” tanya Liana
“pasti akan sangat menyenangkan” ucap Joyce.
“ya, pasti” suara Erika merendah.
“aku cinta Orchard!” Joyce berteriak sambil merentangkan tangannya ke udara.

-
Setiap perayaan Hari Goardoane, semua penduduk Orchard akan pergi ke kuil di atas perbukitan (Tonsoy) untuk  memanjatkan doa malam. Tradisinya seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu berjalan kaki berbondong-bondong ke atas bukit,  dengan seluruh anggota keluarga, membawa raga dan jiwa yang tenang dan damai ke atas peraduan, menjernihkan hati dan memanjatkan doa keselamatan pada Dewi Asuna.

“aku tidak tau harus berdoa bagaimana” ucap Erika ketika mereka bertiga akan bersiap-siap pergi ke kuil.
“kau hanya harus memikirkan hal-hal yang baik, dan jangan lupa tutup mata mu” kata Liana.
Mereka pun akhirnya berangkat, mengikuti kerumunan orang-orang dan keluarga mereka.

Jalanan ke atas bukit sudah dibangun dengan anak tangga, dan ada ribuan anak tanggga tentunya. Sepanjang jalan, Erika tidak berhenti menanyakan benda-benda bercahaya yang terlihat di sisi-sisi bukit,kebanyakan adalah lilin, patung dan tiang-tiang yang di pasang penerang.

Mereka tiba di atas bukit tiga-puluh menit kemudian, lalu menuju kuil yang teletak persis di hadapan mereka.

Kuil itu cukup luas, dengan bentuk seperti setengah bulatan, dilengkapi lampion yang digantung di dinding-dindingnya.
“ayo masuk” ajak Liana.

Mereka bertiga harus mengantri dahulu, karena barisan orang yang datang cukup panjang. Ruangan seperti ballroom itu sudah penuh sesak oleh kerumunan orang.

Erika mengambil tempatnya di dekat pelataran, mengikuti gerakan pelan dan lambat ditiru dari Joyce maupun orang-orang disekitar. Erika bersimpuh dan mencoba menutup kedua matanya. Memanjatkan harapan yang teramat mulia, namun beresiko.
Erika berusaha berkonsentrasi, memikirkan hal-hal yang baik -harapan-harapannya, seolah ada kekuatan yang lebih besar dari semua. Bisa dibilang, Erika berdoa.

Ruangan itu hening, sepi akan suara-suara hasrat manusia, akan  riuhnya ego, seperti padam di dalam kehangatan nurani. Semua orang khusyuk memanjatkan doa. Tiba-tiba,
“Erika, kalung mu..” Liana terperanjat melihat sinar kehijauan itu.

Erika membuka ke dua matanya dan merasakan kepalanya membesar, bulu roma terangkat, lalu kedua tangannya reflex memegang erat kalungnya.

“apa itu Erika?” suara Joyce melebar seraya menarik tubunya ke belakang.
Sudah saatnya, hari ini Hari Gordoane, mereka akan segera tiba.

-

Sebagai seorang anak sulung dari tiga bersaudara, Erika sudah sepantasnya mendapat beban yang lumayan besar. 
Kelangsungan hidup bangsa Deluxa berada di ujuk tombak. Dan karena banyaknya penduduk yang gugur, Ratu Deluxa tidak punya banyak pilihan selain mengirim sisa-sisa prajurit dan juga anak-anak yang dianggap tangkas untuk menemukan tanah baru, tanah dimana bangsa mereka akan pindah dan tinggal untuk masa selanjutnya.

Erika menjadi satu-satunya harapan koloni, semua yang telah dikirim gagal – entah karena mati kelaparan, di jadikan santapann hewan buas, atau di bunuh penduduk asli, yang pasti sekarang hanya Erika, hanya Erika yang di andalkan bangsa Deluxa.

Tapi, ada masalah lain, kepindahan bangsa Deluxa pasti tidak akan membawa kedamaian bagi penduduk Orchard. Semua yang bukan darah Deluxa pasti akan disingkirkan, dimusnahkan, dan bangsa Deluxa tidak mengenal negosiasi atau pun kerja sama.

-

“aku sungguh masih heran dengan kalung mu tu” ucap Joyce “kalung apa itu?”
“ini bukan apa-apa, pemberian dari nenek ku, memang bisa menyala di saat-saat  tertentu”
“seperti misalnya?” tanya Joyce kembali
Seperti ketika mereka mencari tanda, mencari arah, seperti petunjuk jalan bagi  bangsa ku, maka kalung ini akan bersinar. Kalung ini sangat berharga, kalung ini seperti nyawa Deluxa.
“sepeti.. ehm. Seperti..”
“Hey coba lihat!” Liana menunjuk ke  arah pohon Willow.

Titik-titik cahaya  itu berkilau mengelilingi pohon, seperti serbuk-serbuk pixie, warnanya kehijauan.

“kunang-kunang!” Joyce langsung berteriak.
Mereka bertiga berlari ke  arah pohon tersebut, melompat dan seketika berhenti di bawahnya. Memandangi pergerkan cahaya-cahaya kecil itu - mereka tidak bersuara.
Menenangkan.

-

Erika naik ke atas ranjangnya, duduk dan melepas kedua sepatu yang seharian ini menempel terus dengan kulitnya. Dia berbaring, menarik selimut sampai ke pinggang, dan memandangi kotak-kotak persegi di atas langit-langit kamarnya.

Dia memikirkan kembali bagaimana hari ini berlalu, hal apa saja yang sudah di lihatnya, waktu-waktu dimana ia, Liana da Joyce bersama,  tertawa, berlari, bernyanyi, semua masih jelas.

Tapi ada yang mengganjal.
Dunia disini indah, mereka orang-orang yang indah.
Bisakah aku tinggal lebih lama lagi?
Air mata keluar dari pelupuk matanya, mengalir ke pipi dan berhenti di sudut bibirnya.

-

Pagi itu Erika terbangun lebih awal, merapikan tempat tidurnya, kemudian melangkah ke meja tempat dia menaruh kertas berwarna perak yang berisi angka – angka beraturan. Tepat hari ini, sudah seratus hari dia berada dan tingggal di Orchard, hidupnya bisa saja akan berubah drastis setelah ini.

Melingkari hari ke seratus, Erika kembali duduk di atas tranjangnya. Suhu pagi itu masih sangat rendah, kabut terlihat seperti membungkus rumah nya dan desa ini. Rumah Tuan Stainfeld belum juga terbuka, lalu tiba-tiba kalungnya bersinar lagi.

Hari ini mereka akan segera datang.
Erika berlari keluar dari rumah - tak sempat memakai alas kaki, dia melesat menembus kabut, samar-samar, dia tetap berlari. Tujuannya jelas pagi itu; dia ingin bertemu Joyce dan Liana.

“Joyce!” Erika memanggil nama itu sedikit berteriak beberapa puluh kali, sebelum akhirnya pintu rumah berbentuk persegi itu terbuka.
“Erika?” raut wajah Joyce tidak  bisa dijelaskan, bingung.
“Joyce, aku ingin bicara dengan mu” kata Erika tegas.

Mereka berdua pergi ke kediaman Liana, juga memanggil beberapa kali nama Liana sebelum dibukakan pintu oleh Ibunya.

“Masih sangat pagi begini” Liana berbicara sangat pelan,sambil menekan-nekan kedua matanya.
“aku ingin bicara, sangat penting” kata Erika tegas.
Mereka bertiga duduk dipadang, membentuk lingkaran.
Erika lalu menceritakan semuanya, tentang asalnya, tentang maksud dan tujuannya datang kemari, tentang masa lalunya, tenang dunianya, tentang keluarganya.
“aku tidak percaya.” kata Joyce sembari berdiri, menatap tajam ke arah Erika.
“aku berkata jujur” suara Erika terdengar memelas.
“bagaimana mungkin?” Liana juga bangkit dan menaruh satu tangannya di dada, mencoba merasakan sesuatu.
“ada satu cara yang bisa di coba” kata Erika.
“maksudmu ?” ucap Liana.
“Dengar, kalian orang-orang yang baik, kalian sahabat terbaikku, semua orang yang pernah ku kenal disini juga sangat baik, desa dan tempat ini sangat indah.” Erika berkata dengan nada besar dan tidak bergetar. “aku bisa bisa menghentikan semua ini!”

-

Mereka pada akhirnya berjalan bersama ke arah kuil, tidak berkata apa-apa, yang terdengar hanya langkah kaki ketiga gadis kecil.

Terakhir kali Erika kemari sekitar dua minggu lalu, malam yang syahdu, wajah setiap orang seperti wajah bayi, wajah mereka seperti bersinar dibawah terang nya rembulan.

Hari itu perayaan Hari Gordoane, Erika merasakan indahnya kemeriahan dan aura kebahagiaan desa Orchard. Jalanan dipenuhi lampu-lampu, orang-orang memakai kain berwarna putih malam itu.

Hari itu pula untuk pertama kalinya, Erika menceritakan impian-impiannya pada dunia, di dalam hati, Erika menutup kedua matanya dan berdoa.

“Apa  yang akan kau lakukan?” tanya Joyce.
“Kalian pernah dengar kisah seorang pria muda yang menyelamatkan seisi desa?”
“tidak”
“dia pemberani yang rela kehilangan kehidupannya, demi orang-orang yang di cintainya.” Ucap Erika membelakangi kedua temannya.
“dia harus kehilangan hal terpenting dalam hidupnya demi kecintaaanya pada keluarga” sambung Erika “dia kehilangan segala nya, tapi dia mendapat segalanya juga”

-

Dua jam lagi mereka akan tiba disini, tapi mereka tidak akan tiba disini tanpa ada aku, tanpa ada penunjuk jalan.
Banyak hal yang harus aku korbankan, tapi banyak hal yang bisa ku dapatkan juga.
Setidaknya aku tau tujuan ku dilahirkan, dan itu untuk Orchad.

Tidak harus menghancurkan untuk menklaim sesuatu, tidak harus merusak kehidupan lain untuk kepentingan kehidupan yang satunya.
Erika melangkah maju dengan perlahan ke arah tebing curam, Joyce dan Liana mengikuti dari belakang tanpa bersuara.

Kedua gadis dibelakangnya saling bertatapan sejenak sebelum berpaling ke arah depan dan mendapati tubuh Erika bergerak berirama, kakinya hanya sejengkal dari udara dan jurang.
Dia menggenggam  sesuatu di tangannya; berkilauan hijau.

Diangkatnya kalung tersebut, lalu di lemparkannya di udara. Sedetik kemudian cahaya biru keluar dari ujung jari tangannya, menyambar kalung tersebut, menghancurkan benda itu berkeping-keping, meninggalkan serbuk hijau yang beterbangan kesegala arah. Tanpa peringatan, tanpa suara, hanya suara angin yang terdengar selanjutnya.
BS

This Short-Story was begun on August 15th and finished on October 15th.

No comments:

Post a Comment