Thursday, 29 December 2016

Short Story: One Night At The Airport



One Night At The Airport

Baru saja pengumuman bahwa pesawat ku akan segera lepas landas.
Aku berlari menyusuri terminal keberangkatan, dengan tas yang lumayan besar dipunggung dan kantong plastik oleh-oleh yang kutenteng, aku kehabisan waktu.


Pergi ke tempat yang jauh sendirian menurut beberapa orang gila. Terlalu nekat. Tidak penuh perhitungan.
Pendapat-pendapat itu hampir semuanya benar. Dan disinilah aku, duduk sendirian di ruang tunggu Bandara di kota yang  baru seminggu ku kenal.

Sebenarnya kalau boleh memilih aku lebih suka berada di kota ini untuk selamanya, seperti tidak akan pernah kembali lagi. Karena setelah Minggu terakhir ini, yang adalah minggu paling berat dalam hidupku. 
Rasanya aku tidak punya rencana cadangan.

Apa rasanya ketika harapan mu musnah?
Kosong. Pikiran ku kadang kosong ketika malam hari, sesekali diisi adegan-adegan tidak mengenakan. Seperti aku tidak memiliki sesuatu lagi.
Aku terbang ke kota besar ini sendirian dua belas hari yang lalu. Semua terasa sangat siap. Rencana ku bahkan sudah lebih panjang lagi dari sebelum sampai disini.

Dua hari lalu, aku mendapatkan pengumuman secara online mengenai test yang ku ikuti. Hasilnya sungguh mengagetkan, dan di luar perkiraan ku. Aku sempat berpikir bahwa ada kesalahan penulisan nama dalam system itu, tapi setelah ku bolak-balik sekitar sepuluh kali, nama ku tidak ada dalam list nama-nama yang lulus.

-

Duduk  di kursi nomor dua puluh tujuh, tepat di samping jendela kaca, tempat favorit bila naik burung baja. Kembali aku mengingat barang-barang ku, apakah sudah berada di tempat yang seharusnya atau jatuh disuatu tempat- semuanya aman, dan iya, aku gugup.

Suara kapten pesawat memohon agar penumpang menggunakan sabuk pengaman dan mematikan alat komunikasi. Aku kencangkan sabuk pengaman, memasang earphone, bersandar di kursi yang cukup nyaman ini. Aku mulai membayangkan keluarga ku, rumah, teman-teman di Manado. Lagu dari album Fearless – Taylor Swift mengubah suasana menjadi lebih damai. Suasana seperti yang bisa kalian bayangkan; tenang, rapih, santai. Aku melihat ke arah luar jendela sekilas,  cuaca begitu cerah, sebelum akhirnya ku pejamkan mata.

Seseorang yang duduk disampingku, yang dari  tadi tidak kuhiraukan, tiba-tiba menyentuh tanganku, dengan refleks ku cabut earphone dari telinga dan mendengarnya bicara mengatakan sesuatu. Seketika kakiku langsung lemas mengetahui yang terjadi.


-


Dua menit sebelum lepas landas sebelumnya,  kru kembali menyampaikan pengumuman, tapi kali ini bukan tentang prosedur keamanan, atau pemberitahuan akan segera take off, melainkan; mereka membatalkan penerbangan itu.

Aku yang terpaku sejenak setelah mendengar perkataan dari orang disamping ku, langsung cepat-cepat bangkit dan dengan mata terbuka  lebar, dan dengan satu gerakan cepat, mengambil tas punggungku di kabin.

Melewati koridor pesawat, aku mencoba mengatur ketegangan di tubuhku.


Apa ini?

Semuanya baik-baik saja bukan?

Setelah ini apa yang harus ku lakukan?


Spontan saja,  setelah melewati tangga penyeberangan, telepon tersambung ke nomor Ibu ku.
Aku mengatakan semuanya, tidak secara detail, tapi yang intinya bahwa Aku belum bisa pulang, aku tidak bisa kemana-mana. Aku tidak punya rencana setelah ini, kecuali untuk tetap bernafas.


-


Sore itu, langit mendung, aku duduk sendirian di dekat Aquarium berbentuk persegi panjag yang cukup ramai  dengan berbagai warna ikan, meliuk-liuk kesana kemari membuat ku berasumsi apakah mereka juga ingin pulang ke rumah asli mereka.

Sepanjang mata memandang, ke kiri ke kanan, tak ada seorang pun yang ku kenal. Semuanya terlihat asing bagiku. Ada pasangan suami istri muda yang sedang duduk didepan ku, sang suami terlihat sibuk menghubungi seseorang di sambungan telepon, sang istri sibuk mengatur suasana hati  sang anak kecil yang dari tadi tidak berhenti menangis. Aku memperhatikan setiap aktivitas yang terjadi diruangan tunggu itu, mata ku sebenarnya sudah lelah, tapi tidak ada pilihan lain.  

“halo dek?” seorang pria bertubuh besar itu tiba-tiba  sudah ada di sampingku.

“iya Om?” tanya ku sambil tersenyum

“kamu naik pesawat tadi?”

“iya , tapi..”

“syukurlah pesawat itu belum sempat terbang.” Kata pria itu “bisa saja kan abu letusan Gunung itu masuk ke mesin. Kau tau kalau hal  tersebut terjadi kan, mungkin mesinnya rusak dan mati saat terbang, atau pilot nya pusing karena menghirup asap.”

“ehm, iya Om. Syukurlah” pandanganku tertuju ke bawah.

“sekarang tidak ada lain kecuali menunggu.” Kata nya meneruskan. “atau keadaan masih buruk, terpaksa diganti jadwal penerbangan.”

Aku yang sebenarnya tidak tertarik membahas hal ini, tidak sadar sudah membuka mulut dan menyemburkan sejumlah pertanyaan yang sejak  tadi terkurung dalam pikiran

“sampai kapan kita akan menunggu? Ini sudah cukup lama, dan tidak ada informasi lain?”

“belum pasti” katanya. “kita hanya harus menunggu, atau kalau tidak ada perubahan, lebih baik ganti jadwal saja”

Ganti jadwal?

“aku tidak punya rencana lain selain pulang hari ini, dan apa mereka tidak sadar kalau ada banyak juga yang seperti ku? maksudku, kebingungan?” suara ku rasanya cukup nyaring.
Pria itu hanya menaikkan pundak, lalu menantap layar ponselnya dan diam.


Mohon maaf atas ketidak nyamanan anda, untuk sementara bandara di tutup sampai ada kepastian atau berita selanjutnya. Terima kasih


Telinga ku terasa panas mendengar speaker di ruangan ini mengeluarkan pengumuman itu setiap sepuluh menit sekali. Pihak bandara cukup pintar untuk mengusir orang-orang terlantar seperti kami dengan cara yang lumayan sopan.


-


Aku terpaksa turun kebawah, ruangan yang tadi sudah ditutup, orang-orang pergi entah kemana, aku rasanya ingin segera mengikuti salah satu dari mereka. Mencoba mencari kesamaan diantara kita karena dari tadi tidak ada yang memandangiku. Aku sempat mencari gerombolan orang yang ku kira dari pesawat yang sama denganku, tujuan Manado. Tapi yang ku bisa lihat mereka menghilang kearah luar bandara dengan ponsel di telinga. Mereka pastilah punya rencana cadangan.

Aku menyusuri tiap sisi Bandara yang sangat luas. Orang-orang mulai pergi dari tempat ini. Dan jam
menunjukkan sudah pukul sebelas malam, itu artinya sudah tujuh jam aku mondar-mandir di sekitar sini. Perut ku sudah hampir dua jam seperti meliuk-liuk mengikuti aliran darah, aku membayangkan ikan-ikan tadi. Kuhitung sudah sepuluh kali aku ke WC. Air ku sudah habis, dan ide untuk keluar dari bandara ini tidak pernah ku setujui, lagipula kemana aku akan pergi?


Pikiranku menerawang, mengandai-andai, mengilas balik semua kejadian yang terjadi  beberapa jam terakhir, sesaat sebelum berangkat dari tempat penginapan ku, aku memberi salam perpisahan yang baik pada mereka, aku sudah duduk ditempat favorit, mesin pesawat sudah menyala setauku waktu itu dan disinilah aku sekarang. Meringkuk sendirian, sementara yang lain punya rencana cadangan.


Bagaimana hal ini bisa terjadi? Aku seharusnya sudah di rumah, sudah menonton acara TV kesukaanku, ibu akan memanggil untuk makan malam,dan aku- saat ini, di jam ini, sudah seharusnya berada di atas kasur.
Tidak ada seseorang pun yang bisa ku minta tolong disini, atau semuanya tidak ku kenal. Aku tidak punya rencana menginap dimanapun. Rasanya  semua saraf dalam tubuhku melemas ketika itu, mencoba menahan kesadaran dalam tatapan. Rencana? Rencana apa?
Aku sudah menelpon orang tua ku sejak tadi, bahkan suara mereka terasa asing bagiku. Rasanya tidak cukup membantu. Dan sekarang ponsel ku mati kehabisan baterai.

Satu jam kemudian, ruangan yang seharusnya padat oleh penumpang yang terdampar sudah kosong melompong, hanya ada beberapa petugas yang membersihkan lantai, itu pun hanya dibagian yang jauh dari tempat ku duduk.


Aku duduk selonjoran  dengan menyandar pada dinding, mata ku lurus kedepan, rasanya sekujur tubuhku menjadi lebih dingin secara drastis. Jantungku bertegup lebih kencang ketika tiba-tiba lampu-lampu di lantai dua mulai dipadamkan, lalu akhirnya di lantai satu.

Aku mengeluarkan sebungkus keripik buah dari dalam kantong plastik, memakannya peralahan, mengalihkan perhatian ku pada bunyi kunyahan ku sendiri, membuatnya semakin buruk. Aku tidak ingin memikirkan yang lain, tapi tetap saja, otakku melayang dengan bebas.

Mungkin benar, aku sudah terlalu keras kepala, mungkin aku terlalu nekat pergi sejauh ini sendirian, aku tidak seharusnya melakukan semua ini, aku tidak seharusnya menncoba ini. Ku rapatkan kedua kaki dan mulai menangis.

“Halo dik?”

Suara itu terdengar lembut, tapi cukup untuk membuat ku mengadahkan pandangan kearah suara berasal. Seorang wanita berusia kira-kira dua puluhan-lengkap dengan pakaian rapih, memandangi ku sambil tersenyum.  

“apa yang kau lakukan disini?”
Butuh sesaat untuk mencerna pertanyaan tersebut sebelum aku menjawab

“aku.. aku tidak tau harus kemana” ku usap kedua mata ku  mencoba terlihat biasa.
Wanita tersebut kemudian berjongkok disampingku dan kembali menatap dengan lembut

“apa kau tidak bersama keluarga atau teman mu?” tanyanya.

“aku sendiri”

“dengar, disini lantainya sangat dingin, kau bisa ikut  dengan ku” katanya “diatas sana, ada tempat khusus bagi penumpang yang di delay penerbangannya, atau lebih tepatnya yang ingin lihat bintang-bintang”
Matanya berwarna kelabu, aku bertanya-tanya apakah dia juga salah satu penumpang yang tersesat, salah seorang penumpang yang tidak memiliki rencana cadangan. Namun melihat bintang? Aku suka itu. Setidaknya itu lebih baik daripada dibawah sini.

“baiklah.” kataku kemudian.


Kami berjalan dilorong yang sudah cukup gelap, sehingga aku berjalan sejajar dengan wanita itu, berlagak jika aku tau kemana kita akan menuju.

“aku dengar besok bandara akan dibuka kembali.”

“benarkah? Jam berapa?”

“aku tidak tau,  tapi aku harap sejak pagi.” katanya.
Aku memandang kakiku sendiri, mencoba memikirkan apa yang sedang orang tua kukerjakan sekarang. Mereka harus mengetahui keadaan ku,  ponsel sejak tadi belum dicharge.

“apa disana ada tempat untuk charge handphone?” tanyaku lugu.

“tentu.”

“syukurlah, apa kau kerja disni?”

“bisa dibilang begitu, tapi sebenarnya tidak juga. Mari ikut sini”
Kami melawati sebuah lorong seperi silinder, dan diterangi oleh lampu neon.


Aku sekarang berada di belakang wanita itu. Aku tidak peduli lagi dengan penampilan ku, meski pun diatas nanti akan banyak orang, aku tidak peduli, yang penting aku bisa menelpon orang tua ku.
Kami melewati dua tiga lorong lagi sebelum sampai pada tangga. Menaikinya dan sampailah ditujuan.
Aku berdiri di atas balkon, atau sebuah teras yang luas. Tidak terlalu banyak penerangan, tapi lebih baik daripada di hall tadi, dan faktanya tidak ada seorang pun di teras itu.

Kami berjalan menuju ke arah sebuah tempat duduk yang langsung menghadap ke arah lapangan luas, yang tak lain adalah lapangan penerbangan. Aku melihat sebuah tempat colokan yang kosong persis di sebuah tembok sampingku.

Angin berhembus pelan di sekujur kulit ku, meski tapi cukup kepanasan , aku memakai jaket dengan rapih.

“tempat apa ini” kataku kemudian memecah keheningan.

“tempat ku melihat bintang.”

“bintang?” kataku “oh disana..” tangan ku spontan menujuk ke arah langit.
 Malam itu langit begitu cerah, terlihat gemerlap dengan cahaya-cahaya kecil berkedip, kontras dengan warna langit yang hitam ke ungu-unguan. Aku merangkak ke arah colokan listrik dan membiarkan ponsel ku mengisi daya disana, sementara kembali ke tempat duduk aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari tas yang sejak tadi kulihat menggantung dipundaknya.

“kau mau?” tanyanya sambil membuka bungkusan coklat batang.
Aku yang sejak tadi belum menyantap apa-apa kecuali keripik buah oleh-oleh meraih potongan itu tanpa keraguan.

Sejujurnya, aku menjadi lebih tenang saat itu,suasananya sangat bagus menurutku. Aku dan wanita itu tidak berbicara selama beberapa waktu dan diam sambil tetap mengunyah cokelat batang. Iya, meski tidak berbicara, tapi wanita itu terus menawarkan makanan dengan sedikit gerakan tangan kearah ku. Aku suka rasa cokelat, manis dan lumer di mulut, aku sering sengaja mengunyah perlahan, menikmati setiap pecahan padatnya, mencair dalam gerakan mulut.

“sudah enam belas tahun..” kata wanita itu memecah keheningan.
aku memalingkan wajah padanya.

“enam belas tahun sudah aku mendatangi tempat ini setiap harinya..”
Aku masih terdiam, tidak mencoba menerka apa yang sedang dia bicarakan.

“kau bekerja disini bukan?”

“sebenarnya aku tidak bekerja disni..”

“lalu?”

“aku hanya suka datang ke sini setiap malam, melihat bintang..”

“benarkah? Setiap hari?”

“yah..”

“apa kau memang senang melihat bintang?”

“iya begitulah.” “mereka seperti teman ku..”
Aku tersenyum, kemudian kembali memikirkan sesuatu.

“setiap hari dan sudah enam belas tahun?”

“betul..”

“ohh..” aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget ku.

“siapa namamu?” tanyanya.

“Kevin..” “kamu..”

“nama yang bagus, aku Dila..”
Dan mulailah dia menanyakan pertanyaan seputar kehidupanku, mulai dari keluarga sampai sekolah ku.
Aku menceritakan segala proses kehidupan sejak yang bisa kuingat, moment-moment penting dalam hidupku. Aku bahkan merasa nyaman mengeluarkan kisah-kisah yang biasanya tidak  akan ku keluarkan pada orang lain. Bahkan sampai kisah yang terjadi padaku beberapa hari belakangan. Selama beberapa jam terakhir, rasanya aku seperti menemukan teman lama.

Malam itu langit begitu cerah, kau seakan memandang langsung ke luar galaksi, bintang, bulan, kadang cahaya cepat melintas diantara titik-titik cahaya itu. Malam itu pula aku mengetahui sesuatu hal penting dari wanita yang duduk tenang di sampingku.

“ketika itu aku masih sangat kecil.” Dia memulai. “memori ku tidak terlalu bagus, hanya belakangan ini, sepertinya semuanya semakin jelas.”

“aku tau tidak ada seorang orang tua pun yang tega melakukannya pada anak mereka.” Aku terus memperhatikan.

“tapi, disinilah aku sekarang, memandangi bintang dan bulan..” dia melanjutkan “sendirian. Berharap orang tua ku juga membaca pikiran ku”
 
Aku menduga Dila akan menangis, suara terdengar begitu lembut dan pelan. Tapi, dia tersenyum  ke arah ku. Rambutnya diterpa angin malam, dibawah sinar bukan yang keperakan seakan dia tau apa yang ku pikirkan
 “aku rasa air mata ku tidak akan turun lagi.”


Dila adalah seorang anak yang di temukan enam belas tahun yang lalu di sini, tepat di bandara besar ini sendirian, menangis tanpa tau kearah mana dia harus memandang. Petugas bandara mendapatinya duduk di depan WC dengan sebuah tas berukuran kecil. Keluarganya? Orang tuanya? Tidak ada yang pernah tau.

Dila saat itu berusia 8 tahun. Kemudian dia dibawa ke sebuah kantor polisi, dan karena tidak ada keluarga manapun datang mencari, merka membawanya ke panti asuhan. Sekarang dia sudah bekerja sebagai konsultan bisnis di  Kota besar ini. Dia datang ke tempat ini selama 16 tahun hanya untuk memandang langit, melihat bintang-bintang, dan kadang berbisik tentang harapan-harapannya tentang suatu hari dapat melihat orang tuanya.


-


Sudah larut malam setau ku ketika Dila mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari kantong jaketnya.

“hanya ini yang ku punya.”
Kami baru saja selesai menyantap dua bungkus cokelat batang.

“apa ini?” tanyaku penasaran.

“kotak kenangan ku.” dia membukanya.
Didalamnya terdapat sebuah gelang berwarna emas yang ukurannya cukup kecil untuk di pakai oleh seorang wanita. Ada juga beberapa foto.

“apa ini kau?” tanyaku ketika mendekatkan sebuah foto berukuran kecil kearah penglihatanku.

“aku rasa iya” Dia malah tersenyum.

“kau tau Kevin, tidak ada yang perlu kau takutkan sekarang..” katanya “kau memiliki orang-orang yang menunggu mu diseberang sana. Kau tau artinya apa itu?”
Aku menggeleng.

“kau punya harapan.”
“Begini, memang hal wajar seperti ini sering terjadi. Beberapa langkah mu tidak akan mulus, sesekali kau akan terjatuh. Tapi, yang kau harus tau bahwa kau akan tetap berdiri kembali dan pergi ke tujuan mu.”
Dia meneruskan “oh, dan kadang kau harus melihat bintang-bintang itu, lihat betapa indahnya mereka, dan kau pasti tau betapa jauhnya jarak mereka. kita bahkan tidak pernah pasti tau sejauh apa cahayanya harus berkelana hanya agar bisa sampai kesini untuk dilihat oleh mata kita.”


Aku hanya diam, mengartikan kata-kata yang barusan ku dengar, sebelum bertanya lagi

“lalu bagaimana mereka sekarang, maksudku, apa kau mencari mereka?” tanyaku.
Dia menatap ku mengartikan sesuatu, lalu membalikkan badan dan mengambil lagi sesuatu dari dalam tasnya.

“aku menemukan mereka.” Katanya dengan nada suara jernih sambil menyerahkan selembar kertas.

Aku mengambilnya dan mengetahui bahwa itu adalah alamat rumah dari seseorang yang tinggal di Kota lain, jauh dari tempat ini.

“wow ini..” kataku.

“iya aku tau, itulah rencana ku selanjutnya, bertemu mereka dan kau taulah.”sergahnya.


-



Aku duduk bersandar di dinding, setelah panggilan lewat speaker itu, aku berjalan masuk ke ruang tunggu. Tubuhku rasanya lebih ringan sore ini, aku tidur dikursi yang ada di atas teras itu, Dila memutuskan untuk menemani ku disana sampai fajar datang. Ketika tersadar, dia sudah pergi.
Kutemukan sebuah kertas di atas bungkusan cokelat. Bunyinya:


Selalu percaya bahwa harapan ada mengikuti setiap langkahmu. Semoga kita bertemu kembali. Thankss Kevin.

Dila”



Beberapa saat lalu aku baru saja menelpon orang tua ku dirumah. Kau pasti bisa menebak hal-hal mereka tanyakan. Kebanyakan yang ku ceritakan sesuai apa yang terjadi, tetapi ada satu kisah yang belum ku bagikan, bersama teman baru ku.

Jam bertambah, ruangan semakin penuh. Aku melihat tiket yang sedari tadi tidak lepas dari genggaman, melihat nomor kursi ku, dua puluh tujuh, sama dengan yang satu hari lalu. Aku duduk persis di tempat yang sama, dengan orang yang berbeda kali ini.
 
Ku tarik napas dalam-dalam, mencoba melemaskan otot dileher. Aku memasang sabuk pengaman bahkan sebelum di perintah, aku melihat ke arah jendela, ke arah Bandara, ke arah langit


 Aku sudah disini, sebentar lagi akan pergi. Berangkatlah, berangkatlah!


Aku kembali melempar pandangan kearah bandara



Terima kasih untuk malamnya..

apakah aku akan bertemu dia lagi?

Dan oh harapan?

Tentu saja! Dan aku punya rencana setelah ini.



Pesawat mulai bergerak, dan beberapa menit kemudian benda baja itu sudah terangkat dan berada di atas jalur, aku sudah terbang. Ku raih earphone ku, dan menampik hal lain di benak, kecuali musik dan rencana selanjutnya, iya, aku punya rencana.
Aku pulang.
BS

This short-story was begun writing at 15th October and finished at 29th December 2016

No comments:

Post a Comment