One Night At The Airport
Baru saja pengumuman
bahwa pesawat ku akan segera lepas landas.
Aku berlari menyusuri
terminal keberangkatan, dengan tas yang lumayan besar dipunggung dan kantong plastik
oleh-oleh yang kutenteng, aku kehabisan waktu.
Pergi ke tempat yang
jauh sendirian menurut beberapa orang gila. Terlalu nekat. Tidak penuh
perhitungan.
Pendapat-pendapat itu
hampir semuanya benar. Dan disinilah aku, duduk sendirian di ruang tunggu
Bandara di kota yang baru seminggu ku
kenal.
Sebenarnya kalau boleh
memilih aku lebih suka berada di kota ini untuk selamanya, seperti tidak akan
pernah kembali lagi. Karena setelah Minggu terakhir ini, yang adalah minggu
paling berat dalam hidupku.
Rasanya aku tidak punya rencana cadangan.
Apa rasanya ketika
harapan mu musnah?
Kosong. Pikiran ku
kadang kosong ketika malam hari, sesekali diisi adegan-adegan tidak mengenakan.
Seperti aku tidak memiliki sesuatu lagi.
Aku terbang ke kota
besar ini sendirian dua belas hari yang lalu. Semua terasa sangat siap. Rencana
ku bahkan sudah lebih panjang lagi dari sebelum sampai disini.
Dua hari lalu, aku
mendapatkan pengumuman secara online mengenai test yang ku ikuti. Hasilnya
sungguh mengagetkan, dan di luar perkiraan ku. Aku sempat berpikir bahwa ada
kesalahan penulisan nama dalam system itu, tapi setelah ku bolak-balik sekitar
sepuluh kali, nama ku tidak ada dalam list nama-nama yang lulus.
-
Duduk di kursi nomor dua puluh tujuh, tepat di
samping jendela kaca, tempat favorit bila naik burung baja. Kembali aku
mengingat barang-barang ku, apakah sudah berada di tempat yang seharusnya atau jatuh disuatu tempat-
semuanya aman, dan iya, aku gugup.
Suara kapten pesawat
memohon agar penumpang menggunakan sabuk pengaman dan mematikan alat
komunikasi. Aku kencangkan sabuk pengaman, memasang earphone, bersandar di
kursi yang cukup nyaman ini. Aku mulai membayangkan keluarga ku, rumah, teman-teman
di Manado. Lagu dari album Fearless – Taylor Swift mengubah suasana menjadi
lebih damai. Suasana seperti yang bisa kalian bayangkan; tenang, rapih, santai.
Aku melihat ke arah luar jendela sekilas,
cuaca begitu cerah, sebelum akhirnya ku pejamkan mata.
Seseorang yang duduk
disampingku, yang dari tadi tidak
kuhiraukan, tiba-tiba menyentuh tanganku, dengan refleks ku cabut earphone dari
telinga dan mendengarnya bicara mengatakan sesuatu. Seketika kakiku langsung
lemas mengetahui yang terjadi.
-
Dua menit sebelum lepas
landas sebelumnya, kru kembali
menyampaikan pengumuman, tapi kali ini bukan tentang prosedur keamanan, atau
pemberitahuan akan segera take off, melainkan; mereka membatalkan penerbangan
itu.
Aku yang terpaku
sejenak setelah mendengar perkataan dari orang disamping ku, langsung
cepat-cepat bangkit dan dengan mata terbuka
lebar, dan dengan satu gerakan cepat, mengambil tas punggungku di kabin.
Melewati koridor
pesawat, aku mencoba mengatur ketegangan di tubuhku.
Apa ini?Semuanya baik-baik saja bukan?Setelah ini apa yang harus ku lakukan?
Spontan saja, setelah melewati tangga penyeberangan,
telepon tersambung ke nomor Ibu ku.
Aku mengatakan
semuanya, tidak secara detail, tapi yang intinya bahwa Aku belum bisa pulang,
aku tidak bisa kemana-mana. Aku tidak punya rencana setelah ini, kecuali untuk
tetap bernafas.
-
Sore itu, langit
mendung, aku duduk sendirian di dekat Aquarium berbentuk persegi panjag yang cukup
ramai dengan berbagai warna ikan,
meliuk-liuk kesana kemari membuat ku berasumsi apakah mereka juga ingin pulang
ke rumah asli mereka.
Sepanjang mata
memandang, ke kiri ke kanan, tak ada seorang pun yang ku kenal. Semuanya terlihat
asing bagiku. Ada pasangan suami istri muda yang sedang duduk didepan ku, sang
suami terlihat sibuk menghubungi seseorang di sambungan telepon, sang istri
sibuk mengatur suasana hati sang anak
kecil yang dari tadi tidak berhenti menangis. Aku memperhatikan setiap aktivitas
yang terjadi diruangan tunggu itu, mata ku sebenarnya sudah lelah, tapi tidak
ada pilihan lain.
“halo dek?” seorang
pria bertubuh besar itu tiba-tiba sudah
ada di sampingku.
“iya Om?” tanya ku
sambil tersenyum
“kamu naik pesawat
tadi?”
“iya , tapi..”
“syukurlah pesawat itu
belum sempat terbang.” Kata pria itu “bisa saja kan abu letusan Gunung itu
masuk ke mesin. Kau tau kalau hal
tersebut terjadi kan, mungkin mesinnya rusak dan mati saat terbang, atau
pilot nya pusing karena menghirup asap.”
“ehm, iya Om.
Syukurlah” pandanganku tertuju ke bawah.
“sekarang tidak ada
lain kecuali menunggu.” Kata nya meneruskan. “atau keadaan masih buruk, terpaksa
diganti jadwal penerbangan.”
Aku yang sebenarnya
tidak tertarik membahas hal ini, tidak sadar sudah membuka mulut dan
menyemburkan sejumlah pertanyaan yang sejak
tadi terkurung dalam pikiran
“sampai kapan kita akan
menunggu? Ini sudah cukup lama, dan tidak ada informasi lain?”
“belum pasti” katanya.
“kita hanya harus menunggu, atau kalau tidak ada perubahan, lebih baik ganti
jadwal saja”
Ganti
jadwal?
“aku tidak punya
rencana lain selain pulang hari ini, dan apa mereka tidak sadar kalau ada
banyak juga yang seperti ku? maksudku, kebingungan?” suara ku rasanya cukup
nyaring.
Pria itu hanya
menaikkan pundak, lalu menantap layar ponselnya dan diam.
Mohon maaf atas ketidak nyamanan anda, untuk sementara bandara di tutup sampai ada kepastian atau berita selanjutnya. Terima kasih
Telinga ku terasa panas
mendengar speaker di ruangan ini mengeluarkan pengumuman itu setiap sepuluh
menit sekali. Pihak bandara cukup pintar untuk mengusir orang-orang terlantar
seperti kami dengan cara yang lumayan sopan.
-
Aku terpaksa turun
kebawah, ruangan yang tadi sudah ditutup, orang-orang pergi entah kemana, aku
rasanya ingin segera mengikuti salah satu dari mereka. Mencoba mencari kesamaan
diantara kita karena dari tadi tidak ada yang memandangiku. Aku sempat mencari
gerombolan orang yang ku kira dari pesawat yang sama denganku, tujuan Manado.
Tapi yang ku bisa lihat mereka menghilang kearah luar bandara dengan ponsel di
telinga. Mereka pastilah punya rencana cadangan.
Aku menyusuri tiap sisi
Bandara yang sangat luas. Orang-orang mulai pergi dari tempat ini. Dan jam
menunjukkan sudah pukul
sebelas malam, itu artinya sudah tujuh jam aku mondar-mandir di sekitar sini. Perut
ku sudah hampir dua jam seperti meliuk-liuk mengikuti aliran darah, aku membayangkan ikan-ikan tadi. Kuhitung
sudah sepuluh kali aku ke WC. Air ku sudah habis, dan ide untuk keluar dari
bandara ini tidak pernah ku setujui, lagipula kemana aku akan pergi?
Pikiranku menerawang,
mengandai-andai, mengilas balik semua kejadian yang terjadi beberapa jam terakhir, sesaat sebelum berangkat
dari tempat penginapan ku, aku memberi salam perpisahan yang baik pada mereka, aku
sudah duduk ditempat favorit, mesin pesawat sudah menyala setauku waktu itu dan disinilah
aku sekarang. Meringkuk sendirian, sementara yang lain punya rencana cadangan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Aku seharusnya sudah di rumah, sudah menonton acara TV kesukaanku, ibu akan
memanggil untuk makan malam,dan aku- saat ini, di jam ini, sudah seharusnya
berada di atas kasur.
Tidak ada seseorang pun
yang bisa ku minta tolong disini, atau semuanya tidak ku kenal. Aku tidak punya
rencana menginap dimanapun. Rasanya
semua saraf dalam tubuhku melemas ketika itu, mencoba menahan kesadaran
dalam tatapan. Rencana? Rencana apa?
Aku sudah menelpon
orang tua ku sejak tadi, bahkan suara mereka terasa asing bagiku. Rasanya tidak
cukup membantu. Dan sekarang ponsel ku mati kehabisan baterai.
Satu jam kemudian,
ruangan yang seharusnya padat oleh penumpang yang terdampar sudah kosong
melompong, hanya ada beberapa petugas yang membersihkan lantai, itu pun hanya
dibagian yang jauh dari tempat ku duduk.
Aku duduk
selonjoran dengan menyandar pada
dinding, mata ku lurus kedepan, rasanya sekujur tubuhku menjadi lebih dingin
secara drastis. Jantungku bertegup lebih kencang ketika tiba-tiba lampu-lampu
di lantai dua mulai dipadamkan, lalu akhirnya di lantai satu.
Aku mengeluarkan sebungkus
keripik buah dari dalam kantong plastik, memakannya peralahan, mengalihkan
perhatian ku pada bunyi kunyahan ku sendiri, membuatnya semakin buruk. Aku
tidak ingin memikirkan yang lain, tapi tetap saja, otakku melayang dengan bebas.
Mungkin benar, aku sudah
terlalu keras kepala, mungkin aku terlalu nekat pergi sejauh ini sendirian, aku
tidak seharusnya melakukan semua ini, aku tidak seharusnya menncoba ini. Ku rapatkan
kedua kaki dan mulai menangis.
“Halo dik?”
Suara itu terdengar
lembut, tapi cukup untuk membuat ku mengadahkan pandangan kearah suara berasal.
Seorang wanita berusia kira-kira dua puluhan-lengkap dengan pakaian rapih,
memandangi ku sambil tersenyum.
“apa yang kau lakukan
disini?”
Butuh sesaat untuk mencerna
pertanyaan tersebut sebelum aku menjawab
“aku.. aku tidak tau
harus kemana” ku usap kedua mata ku
mencoba terlihat biasa.
Wanita tersebut kemudian
berjongkok disampingku dan kembali menatap dengan lembut
“apa kau tidak bersama
keluarga atau teman mu?” tanyanya.
“aku sendiri”
“dengar, disini
lantainya sangat dingin, kau bisa ikut dengan
ku” katanya “diatas sana, ada tempat khusus bagi penumpang yang di delay penerbangannya,
atau lebih tepatnya yang ingin lihat bintang-bintang”
Matanya berwarna
kelabu, aku bertanya-tanya apakah dia juga salah satu penumpang yang tersesat,
salah seorang penumpang yang tidak memiliki rencana cadangan. Namun melihat
bintang? Aku suka itu. Setidaknya itu lebih baik daripada dibawah sini.
“baiklah.” kataku
kemudian.
Kami berjalan dilorong
yang sudah cukup gelap, sehingga aku berjalan sejajar dengan wanita itu, berlagak
jika aku tau kemana kita akan menuju.
“aku dengar besok
bandara akan dibuka kembali.”
“benarkah? Jam berapa?”
“aku tidak tau, tapi aku harap sejak pagi.” katanya.
Aku memandang kakiku
sendiri, mencoba memikirkan apa yang sedang orang tua kukerjakan sekarang.
Mereka harus mengetahui keadaan ku,
ponsel sejak tadi belum dicharge.
“apa disana ada tempat
untuk charge handphone?” tanyaku lugu.
“tentu.”
“syukurlah, apa kau
kerja disni?”
“bisa dibilang begitu,
tapi sebenarnya tidak juga. Mari ikut sini”
Kami melawati sebuah
lorong seperi silinder, dan diterangi oleh lampu neon.
Aku sekarang berada di
belakang wanita itu. Aku tidak peduli lagi dengan penampilan ku, meski pun diatas
nanti akan banyak orang, aku tidak peduli, yang penting aku bisa menelpon orang
tua ku.
Kami melewati dua tiga
lorong lagi sebelum sampai pada tangga. Menaikinya dan sampailah ditujuan.
Aku berdiri di atas
balkon, atau sebuah teras yang luas. Tidak terlalu banyak penerangan, tapi lebih
baik daripada di hall tadi, dan faktanya tidak ada seorang pun di teras itu.
Kami berjalan menuju ke
arah sebuah tempat duduk yang langsung menghadap ke arah lapangan luas, yang
tak lain adalah lapangan penerbangan. Aku melihat sebuah tempat colokan yang
kosong persis di sebuah tembok sampingku.
Angin berhembus pelan
di sekujur kulit ku, meski tapi cukup kepanasan , aku memakai jaket dengan
rapih.
“tempat apa ini” kataku
kemudian memecah keheningan.
“tempat ku melihat
bintang.”
“bintang?” kataku “oh
disana..” tangan ku spontan menujuk ke arah langit.
Malam itu langit begitu
cerah, terlihat gemerlap dengan cahaya-cahaya kecil berkedip, kontras dengan
warna langit yang hitam ke ungu-unguan. Aku merangkak ke arah colokan listrik
dan membiarkan ponsel ku mengisi daya disana, sementara kembali ke tempat duduk
aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari tas yang sejak tadi kulihat
menggantung dipundaknya.
“kau mau?” tanyanya
sambil membuka bungkusan coklat batang.
Aku yang sejak tadi
belum menyantap apa-apa kecuali keripik buah oleh-oleh meraih potongan itu
tanpa keraguan.
Sejujurnya, aku menjadi
lebih tenang saat itu,suasananya sangat bagus menurutku. Aku dan wanita itu
tidak berbicara selama beberapa waktu dan diam sambil tetap mengunyah cokelat
batang. Iya, meski tidak berbicara, tapi wanita itu terus menawarkan makanan
dengan sedikit gerakan tangan kearah ku. Aku suka rasa cokelat, manis dan lumer
di mulut, aku sering sengaja mengunyah perlahan, menikmati setiap pecahan
padatnya, mencair dalam gerakan mulut.
“sudah enam belas
tahun..” kata wanita itu memecah keheningan.
aku memalingkan wajah
padanya.
“enam belas tahun sudah
aku mendatangi tempat ini setiap harinya..”
Aku masih terdiam,
tidak mencoba menerka apa yang sedang dia bicarakan.
“kau bekerja disini
bukan?”
“sebenarnya aku tidak
bekerja disni..”
“lalu?”
“aku hanya suka datang
ke sini setiap malam, melihat bintang..”
“benarkah? Setiap
hari?”
“yah..”
“apa kau memang senang
melihat bintang?”
“iya begitulah.”
“mereka seperti teman ku..”
Aku tersenyum, kemudian
kembali memikirkan sesuatu.
“setiap hari dan sudah enam belas tahun?”
“betul..”
“ohh..” aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget ku.
“siapa namamu?”
tanyanya.
“Kevin..” “kamu..”
“nama yang bagus, aku
Dila..”
Dan mulailah dia
menanyakan pertanyaan seputar kehidupanku, mulai dari keluarga sampai sekolah
ku.
Aku menceritakan segala
proses kehidupan sejak yang bisa kuingat, moment-moment penting dalam hidupku.
Aku bahkan merasa nyaman mengeluarkan kisah-kisah yang biasanya tidak akan ku keluarkan pada orang lain. Bahkan
sampai kisah yang terjadi padaku beberapa hari belakangan. Selama beberapa jam
terakhir, rasanya aku seperti menemukan teman lama.
Malam itu langit begitu
cerah, kau seakan memandang langsung ke luar galaksi, bintang, bulan, kadang
cahaya cepat melintas diantara titik-titik cahaya itu. Malam itu pula aku mengetahui
sesuatu hal penting dari wanita yang duduk tenang di sampingku.
“ketika itu aku masih
sangat kecil.” Dia memulai. “memori ku tidak terlalu bagus, hanya belakangan
ini, sepertinya semuanya semakin jelas.”
“aku tau tidak ada
seorang orang tua pun yang tega melakukannya pada anak mereka.” Aku terus
memperhatikan.
“tapi, disinilah aku
sekarang, memandangi bintang dan bulan..” dia melanjutkan “sendirian. Berharap
orang tua ku juga membaca pikiran ku”
Aku menduga Dila akan
menangis, suara terdengar begitu lembut dan pelan. Tapi, dia tersenyum ke arah ku. Rambutnya diterpa angin malam,
dibawah sinar bukan yang keperakan seakan dia tau apa yang ku pikirkan
“aku rasa air mata ku
tidak akan turun lagi.”
Dila adalah seorang
anak yang di temukan enam belas tahun yang lalu di sini, tepat di bandara besar
ini sendirian, menangis tanpa tau kearah mana dia harus memandang. Petugas
bandara mendapatinya duduk di depan WC dengan sebuah tas berukuran kecil.
Keluarganya? Orang tuanya? Tidak ada yang pernah tau.
Dila saat itu berusia 8
tahun. Kemudian dia dibawa ke sebuah kantor polisi, dan karena tidak ada
keluarga manapun datang mencari, merka membawanya ke panti asuhan. Sekarang dia
sudah bekerja sebagai konsultan bisnis di
Kota besar ini. Dia datang ke tempat ini selama 16 tahun hanya untuk
memandang langit, melihat bintang-bintang, dan kadang berbisik tentang
harapan-harapannya tentang suatu hari dapat melihat orang tuanya.
-
Sudah larut malam setau
ku ketika Dila mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari kantong jaketnya.
“hanya ini yang ku
punya.”
Kami baru saja selesai
menyantap dua bungkus cokelat batang.
“apa ini?” tanyaku
penasaran.
“kotak kenangan ku.”
dia membukanya.
Didalamnya terdapat
sebuah gelang berwarna emas yang ukurannya cukup kecil untuk di pakai oleh
seorang wanita. Ada juga beberapa foto.
“apa ini kau?” tanyaku
ketika mendekatkan sebuah foto berukuran kecil kearah penglihatanku.
“aku rasa iya” Dia
malah tersenyum.
“kau tau Kevin, tidak
ada yang perlu kau takutkan sekarang..” katanya “kau memiliki orang-orang yang menunggu
mu diseberang sana. Kau tau artinya apa itu?”
Aku menggeleng.
“kau punya harapan.”
“Begini, memang hal
wajar seperti ini sering terjadi. Beberapa langkah mu tidak akan mulus,
sesekali kau akan terjatuh. Tapi, yang kau harus tau bahwa kau akan tetap
berdiri kembali dan pergi ke tujuan mu.”
Dia meneruskan “oh, dan
kadang kau harus melihat bintang-bintang itu, lihat betapa indahnya mereka,
dan kau pasti tau betapa jauhnya jarak mereka. kita bahkan tidak pernah pasti
tau sejauh apa cahayanya harus berkelana hanya agar bisa sampai kesini untuk
dilihat oleh mata kita.”
Aku hanya diam, mengartikan kata-kata yang barusan ku dengar, sebelum bertanya lagi
“lalu bagaimana mereka
sekarang, maksudku, apa kau mencari mereka?” tanyaku.
Dia menatap ku mengartikan sesuatu, lalu
membalikkan badan dan mengambil lagi sesuatu dari dalam tasnya.
“aku menemukan mereka.”
Katanya dengan nada suara jernih sambil menyerahkan selembar kertas.
Aku mengambilnya dan
mengetahui bahwa itu adalah alamat rumah dari seseorang yang tinggal di Kota
lain, jauh dari tempat ini.
“wow ini..” kataku.
“iya aku tau, itulah
rencana ku selanjutnya, bertemu mereka dan kau taulah.”sergahnya.
-
Aku duduk bersandar di
dinding, setelah panggilan lewat speaker itu, aku berjalan masuk ke ruang
tunggu. Tubuhku rasanya lebih ringan sore ini, aku tidur dikursi yang ada di
atas teras itu, Dila memutuskan untuk menemani ku disana sampai fajar datang.
Ketika tersadar, dia sudah pergi.
Kutemukan sebuah kertas
di atas bungkusan cokelat. Bunyinya:
“Selalu percaya bahwa harapan ada mengikuti setiap langkahmu. Semoga kita bertemu kembali. Thankss Kevin.
Dila”
Beberapa saat lalu aku
baru saja menelpon orang tua ku dirumah. Kau pasti bisa menebak hal-hal mereka
tanyakan. Kebanyakan yang ku ceritakan sesuai apa yang terjadi, tetapi ada satu
kisah yang belum ku bagikan, bersama teman baru ku.
Jam bertambah, ruangan
semakin penuh. Aku melihat tiket yang sedari tadi tidak lepas dari genggaman,
melihat nomor kursi ku, dua puluh tujuh, sama dengan yang satu hari lalu. Aku duduk persis di
tempat yang sama, dengan orang yang berbeda kali ini.
Ku tarik napas
dalam-dalam, mencoba melemaskan otot dileher. Aku memasang sabuk pengaman bahkan
sebelum di perintah, aku melihat ke arah jendela, ke arah Bandara, ke arah
langit
Aku sudah disini, sebentar lagi akan pergi. Berangkatlah, berangkatlah!
Aku kembali melempar
pandangan kearah bandara
Terima kasih untuk malamnya..
apakah aku akan bertemu dia lagi?
Dan oh harapan?
Tentu saja! Dan aku punya rencana setelah ini.
Pesawat mulai bergerak,
dan beberapa menit kemudian benda baja itu sudah terangkat dan berada di atas
jalur, aku sudah terbang. Ku raih earphone ku, dan
menampik hal lain di benak, kecuali musik dan rencana selanjutnya, iya, aku punya
rencana.
Aku pulang.
BS
This short-story was
begun writing at 15th October and finished at 29th
December 2016
No comments:
Post a Comment